Membangun Budaya Membaca dengan Arisan Buku


 Oleh : Romi Febriyanto Saputro
Tulisan ini pernah dimuat sebagai Artikel Utama di Kompasiana, 21 Maret 2018
 
Membangun Budaya Membaca dengan Arisan Buku
Ilustrasi (Pixabay/MichaelGaida) 
Buku merupakan kumpulan lembar demi lembar tulisan yang mengisahkan perjalanan hidup manusia dulu, kini, dan esok.  Perjalanan ini meliputi segala bidang kehidupan yang sudah, sedang, dan akan ditempuh oleh manusia. Karena itu sesungguhnya buku merupakan cermin kemajuan peradaban  manusia.

Ironisnya,  bangsa tercinta ini masih menganggap buku sebagai benda asing yang seolah berasal dari luar angkasa. Membeli baju, telepon genggam, kamera maupun mobil adalah sesuatu yang dianggap biasa. Membeli buku ? Masih merupakan sesuatu yang asing dan belum ditulis oleh memori otak sebagai kebutuhan pokok.  Bahkan untuk kalangan berlimpah harta sekalipun, budaya beli buku masih jauh panggang dari api.

Demikian pula untuk kalangan pendidik. Sertifikasi guru yang dimaksudkan untuk meningkatkan kompetensi guru belum berdampak besar pada angka penjualan buku di tanah air. Tidak banyak guru yang merayakan dana sertifikasi dengan membeli buku. Kesejahteraan guru yang mendapat dana sertifikasi baru berdampak pada meningkatnya jumlah penjualan mobil dan meledaknya daftar antri ibadah haji ke tanah suci.

Membeli buku masih dirasakan sebagai sesuatu yang sangat berat. Bikin "galau" meminjam istilah gaul remaja saat ini. Jangankan membeli, pinjam gratis saja masih ada yang galau. Galau beli buku tak hanya melanda pada ranah individu melainkan juga kelembagaan. Saat ini cukup banyak perpustakaan desa, perpustakaan sekolah, perpustakaan umum kabupaten/kota, dan perpustakaan perguruan tinggi yang menderita galaubeli buku. 

Belanja buku yang seharusnya menjadi agenda tahunan berubah menjadi agenda lima tahunan atau bahkan tidak teragenda sama sekali. Apalagi jika tanpa beli buku secara rutin saja sudah mampu memperoleh penghargaan dengan menghalalkan segala cara.

Arisan buku

Galau beli buku ? Arisan buku merupakan solusi yang bisa ditempuh.  Saat ini masyarakat sudah terbiasa dengan praktik arisan uang maupun arisan barang. Arisan barang memiliki variasi yang cukup banyak seperti arisan motor, arisan panci, arisan kompor, arisan magic jar dan lain-lain. Arisan buku bisa menjadi khazah baru dalam "dunia arisan" di tanah air.

 Konsep dasar arisan adalah kerjasama sekelompok orang dengan mengelurakan sejumlah uang yang digunakan oleh pemenang arisan. Setiap anggota pada akhirnya akan mendapat manfaat yang sama dari arisan. Ada praktik tolong menolong di sini.  Arisan buku bisa membantu mengurangi galau ketika pundi rupiah yang dimiliki tak cukup untuk membeli buku yang diinginkan. Harga buku yang masih mahal atau terasa mahal akan terasa sedikit murah dengan arisan buku. Mengubah rasa ! Inilah hikmah dari setiap arisan.

Tentu akan menjadi pemandangan yang luar biasa jika ibu-ibu rumah tangga tak hanya menggelar arisan PKK. Namun juga menggelar arisan buku, bedah buku, dan membaca buku bersama. Guru, dosen, PNS, mahasiswa, pelajar, buruh dan petani akan sangat berperan dalam meledakkan budaya membaca jika turut serta menyelenggarakan arisan buku. 

Tiga golongan pertama mesti menjadi pelopor terdepan untuk memberikan teladan bagi golongan berikutnya. Karena mereka memiliki modal berharga, intelektual, uang, dan pekerjaan yang membutuhkan banyak membaca buku.

Arisan buku juga bisa dilaksanakan oleh perpustakaan desa, taman bacaan maupun perpustakaan sekolah. Arisan buku bisa dilembagakan dalam bentuk kerjasama pengadaan buku perpustakaan. Jika dalam satu kecamatan ada 40 perpustakaan sekolah, dan setiap perpustakaan menyetorkan10 judul buku baru maka setiap bulan akan terkumpul 400 judul buku baru yang akan menjadi koleksi buku baru di perpustakaan pemenang arisan.
idesignarch.com
idesignarch.com
Perpustakaan yang menjadi peserta arisan buku secara tidak langsung sudah memberikan jaminan minimal kepada penggunanya bahwa hasrat untuk menambah koleksi baru akan terus berkobar. Arisan buku merupakan katup pengaman untuk selalu menghadirkan semangat menambah koleksi baru yang selalu akan ditunggu oleh pengunjungnya.

Agar konsep arisan buku antar perpustakaan ini bisa berjalan dengan baik, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, kalau dalam arisan konvensional setiap peserta menyetorkan sejumlah uang, maka dalam arisan buku ini setiap peserta arisan menyetorkan sejumlah buku baru yang dibeli sendiri. Hal ini untuk mencegah terjadinya fitnah. 

Mengingat sejumlah uang yang dikumpulkan rawan mengundang fitnah. Mengapa ? Karena dalam pembelian buku dikenal istilah diskon. Kalau setiap peserta membeli buku sendiri tentu akan  mampu menihilkan prasangka buruk.

Kedua,harus ada komitmen bahwa setiap perpustakaan peserta arisan akan menyetorkan sejumlah buku dengan standar yang telah ditentukan bersama dan dengan judul buku yang saling berbeda. Perbedaan judul buku ini sangat penting agar bisa dimanfaatkan untuk kerjasama tukar-menukar koleksi antara perpustakaan satu dengan yang lain. 

Semakin tinggi tingkat perbedaan akan semakin baik kualitas kerjasama tukar-menukar koleksi. Dengan kerjasama ini diharapkan perpustakaan akan selalu memberikan dan menghidangkan sesuatu yang baru kepada pengunjung/pemustaka.

Ketiga, setiap perpustakaan peserta arisan buku harus memiliki niat yang tulus bahwa arisan buku merupakan sebuah sarana untuk membudayakan membaca. Untuk itu pemenang arisan buku ditetapkan berdasarkan skala prioritas dalam satu kerangka besar yaitu yang paling berpeluang untuk meledakkan budaya membaca. 

Perlu pula untuk dilihat, peserta mana yang harus didahulukan untuk memperoleh arisan buku dalam rangka melahirkan perpustakaan baru.

Arisan buku merupakan sebuah jembatan perjuangan untuk menghubungkan budaya tuna buku dengan budaya  gemar buku. Peradaban tuna buku tak mungkin dipaksa langsung untuk melompat ke peradaban gemar buku. Perlu jembatan penghubung agar proses revolusi peradaban ini berjalan tanpa rasa sakit dan terpaksa.

Related Posts:

Refleksi Hari Kunjung Perpustakaan, 14 September 2003 Perpustakaan, Antara Obsesi & Realitas


-->
                            




Oleh Romi Febriyanto Saputro*
  Artikel ini telah dimuat di Harian Solo Pos, 16 September 2003     
         Mungkin tak banyak orang yang tahu bahwa tanggal 14 September 2003 yang lalu adalah “Hari Kunjung Perpustakaan”. Hal ini sangat berbeda dengan peringatan “Hari Pendidikan Nasional” yang begitu meriah diperingati setiap tanggal 2 Mei. Hal ini terasa sangat ironis, mengingat peran keduanya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa tak dapat dipisahkan.

Related Posts:

Arsip dan Tertib Administrasi Desa



Undang-undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan mengungkapkan bahwa perjuangan dalam upaya mewujudkan dan mencapai cita-cita nasional sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang terekam dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia berfungsi sebagai memori kolektif bangsa.

Memori kolektif bangsa yang merupakan rekaman dari sejarah perjalanan bangsa tersebut merupakan aset nasional yang menggambarkan identitas dan jati diri bangsa Indonesia yang sesungguhnya. Setiap langkah dan dinamika gerak maju bangsa, masyarakat, dan negara Indonesia ke depan harus didasarkan pada pemahaman, penghayatan, dan catatan atas identitas dan jati diri bangsa tersebut yang terekam dalam bentuk arsip.


Related Posts:

Membangun Sinergitas Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat



Sumber foto : sekolahimpian.id

Menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 30 Tahun 2017, pelibatan keluarga pada penyelenggaraan pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kepedulian dan tanggung jawab bersama antara satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan.

Hal ini diharapkan bisa mendorong penguatan pendidikan karakter anak, meningkatkan kepedulian keluarga terhadap pendidikan anak, membangun sinergitas antara sekolah, keluarga, dan masyarakat. Dengan demikian akan terwujud  lingkungan belajar  yang aman, nyaman, dan menyenangkan.
Menurut Ki Hadjar Dewantara sebagaimana dikutip Neni Yohana (2017), lingkungan keluarga adalah suatu tempat yang sebaik-baiknya untuk melakukan pendidikan dan sosial, sehingga dapat dikatakan bahwa keluarga adalah tempat pendidikan yang lebih sempurna sifat dan wujudnya daripada pusat yang lainnya untuk melangsungkan pendidikan kearah kecerdasan budi pekerti (pembentukan watak individual) dan sebagai bekal hidup bermasyarakat. Pendidikan keluarga merupakan pendidikan yang sempurna bagi pendidikan kecerdasan dan budi pekerti ketimbang pendidikan-pendidikan yang lain (selain keluarga). Pendidikan keluarga merupakan pendidikan yang sangat penting terutama pendidikan agama, yang mutlak harus dilakukan oleh kedua orang tuanya sejak dini sampai dewasa. Lebih-lebih kalau kita ingat, bahwa keluarga adalah pusat pendidikan yang pertama dan utama, bahkan juga berfungsi sebagai peletak dasar pembentukan pribadi anak.


Related Posts:

Revolusi Menari Dari Kaki Gunung Telomoyo


       
Oleh : Romi Febriyanto Saputro 

Dua puluh tahun lagi kau akan lebih kecewa karena hal-hal yang tidak kau lakukan daripada hal-hal yang telah kau lakukan. Maka lepaskan tali perahumu. Berlayarlah meninggalkan pelabuhan yang aman. Tangkap angin di layarmu. Menjelajahlah. Teruslah bermimpi. Temukan sesuatu. 
(Mark Twain)



Selamat Datang di Desa Menari
(Sumber Foto : Suara Merdeka, 2 Oktober 2017)


Ensiklopedi Nasional Indonesia (1988) menyebutkan bahwa tari merupakan gerak indah berirama yang merupakan perwujudan manusia. Tari adalah salah satu unsur kebudayaan. Sebagian ahli seni berpendapat bahwa ada dua unsur penting dalam tari, yakni gerak dan irama. Gerak merupakan gejala primer manusia dan juga bentuk refleksi spontan dari kehendak yang terdapat di dalam jiwa. Oleh karena itu bisa dikatakan tari lahir bersamaan dengan adanya manusia di dunia. 
 

Related Posts:

Ki Hajar Dewantara, Pendidikan dan Kebudayaan

Oleh : Romi Febriyanto Saputro 


Indonesia berada di urutan ke -77 dari total 119 negara di dunia dalam peringkat Global Talent Competitiveness Index (GTCI) 2018 yang bertema keberagaman untuk meningkatkan daya saing. Peringkat tersebut jauh lebih rendah dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia di peringkat 27, Filipina di posisi 54, Thailand di peringkat 70. Indonesia berada setingkat di bawah Rwanda, dan sedikit lebih unggul dibandingkan India dan Srilanka yang masing-masing menempati peringkat 81 dan 82. Sementara peringkat pertama diraih oleh Swiss, yang diikuti oleh negara maju lainnya seperti Singapura, Amerika Serikat, Norwegia, dan Swedia (Bisnis Indonesia, 23 Januari 2018).

Related Posts: