Belajar Lagi Bahasa Jawa Kromo Inggil
-->
Oleh : Romi Febriyanto
Saputro, S.IP
Artikel ini telah
dimuat di Kompas Jateng, 30 Januari2006
Sejak tanggal 14 Desember 2005, Pemerintah Kabupaten Sragen memberikan
himbauan kepada seluruh karyawan di instansi pemerintah, termasuk para pelajar
di sekolahan untuk menggunakan bahasa Jawa Kromo Inggil yang baik dan benar
dalam komunikasi sehari-hari, setiap hari Rabu-. Himbauan ini merupakan hasil
kesepakatan Kepala Daerah
se-SUBOSUKAWONOSRATEN (Surakarta ,
Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar,Wonogiri, Sragen, dan Klaten). Hal ini
bertujuan untukmenghayati dan melestarikan bahasa daerah (bahasa Jawa Kromo
Inggil) yang saat ini semakin terdesak
olehbudaya global.
Globalisasi
yang begitu diagungkan telah menyebabkan masyarakat kita kehilangan akar budaya
dan sejarah. Budaya asing dengan segala bentuknya telah memarginalisasi budaya
nasional maupun budaya lokal. Dominasi produk asing tiga F, food (makanan), fashion (pakaian),
dan fun (hiburan) dalam kehidupan sehari-hari begitu kentara.
Makanan
cepat saji yang di negeri asalnya sendiri sudah dianggap makanan “sampah”
karena kandungan kolesterolnya yang sangat tinggi, di negeri ini dianggap
makanan kelas raja dan elit. Dalam hal cara berpakaian pun budaya kita sudah
lama di tinggalkan berganti dengan pakaian serba ketat dan hemat untuk para
remaja. Pengaruh terbesar budaya asing tampak dalam dunia hiburan. Segala hal
yang berbau asing laris manis di jual kepada publik.
Tak
terkecuali dalam hal bahasa. Bahasa asing terutama bahasa Inggris begitu
diagung-agungkan sehingga sampai nama rumah makan, salon, dan toko pun memakai
bahasa Inggris. Hal ini rupanya mulai disadari oleh
pemerintah, sehingga dalam RUU
Bahasa yang kini tengah dibahas oleh Balitbang Depdiknas akan melarang penggunaan bahasa asing di
ruang publik, baik itu untuk nama kompleks perumahan, iklan, nama gedung atau
bangunan, petunjuk penggunaan barang, merk dagang dan lain-lain.
Ironisnya,
rasa kagum yang berlebihan terhadap segala hal yang berbau asing ini
menyebabkan lahirnya sikap meremehkan, merendahkan, dan melupakan budaya bangsa
sendiri. Bahasa Jawa Kromo
Inggil sebagai salah satu warisan budaya yang tak ternilai harganya sudah banyak dilupakan. Yang tersisa hanyalah
bahasa Jawa Ngoko.
Sekarang
ini sangat jarang kita temui seorang anak yang berbahasa Jawa Kromo Inggil terhadap orang tuanya. Begitu pula jarang
sekali seorang pemuda berbahasa Kromo Inggil terhadap orang yang lebih tua.
Bahkan seolah sudah menjadi kebiasaan tua muda berbahasa Jawa Ngoko.
Fenomena
ini menandakan telah terjadi proses alienasi (keterasingan) terhadap produk
budaya sendiri. Bahasa Jawa Kromo Inggil telah menjadi asing di telinga orang
Jawa sendiri (termasuk penulis sendiri ketika Rabu pertama rekan-rekan kerja
penulis mengawali komunikasi dengan bahasa Jawa Kromo Inggil).
Filosofi
yang terkandung dalam bahasa Jawa Kromo Inggil telah dilupakan. Rasa
penghormatan kepada orang tua/yang lebih tua, merendahkan diri sendiri (rendah
hati), dan meninggikan orang lain (menghormati) merupakan filosofi yang
terkandung dalam bahasa Jawa Kromo Inggil. Dalam hal ini bahasa merupakan
simbol budi pekerti yang luhur.
Pembagian
bahasa Jawa dalam ngoko, ngoko alus, kromo alus, dan kromo inggil sering
disalahpahami sebagai bentuk feodalisme. Padahal klasifikasi semacam ini hanya
sekedar aturan berbahasa sama halnya dengan enam belas bentuk waktu dalam
bahasa Inggris (tenses). Tak ada hubungannya sama sekali dengan diskriminasi
derajad kemanusiaan. Sebaliknya hal ini justru membuktikan adanya pluralitas
dalam bahasa Jawa.
Marginalisasi
bahasa Jawa juga turut “disukseskan” oleh peran dunia pendidikan. Sejak puluhan
tahun yang lalu bahasa Jawa hanya diajarkan sampai Sekolah Menengah Pertama
(SMP), itupun dengan jumlah jam pelajaran yang tidak memadai. Pelajaran bahasa
Jawa belum dipandang “berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah” dengan mata
pelajaran lain. Kini , dunia pendidikan kita mulai insaf dengan memasukkan
kembali pelajaran bahasa Jawa dalam kurikulum pelajaran Sekolah Menengah Atas
(SMA).
Dunia
pendidikan kita memang aneh karena tanpa disadari menganut sistem kasta dalam
proses belajar mengajar. Ada
kasta favorit semacam pelajaran IPA, Bahasa Inggris. Ada pula kasta menengah seperti pelajaran
Bahasa Indonesia dan IPS. Yang terakhir kasta terbawah semisal : Agama, Bahasa
Daerah, Ketrampilan, Kesenian, dan Olah Raga (maka, ya harap maklum kalau
prestasi Indonesia
merosot pada Sea Games
lalu).
Pendidikan
kita seharusnya belajar dari Jepang. Jepang yang setelah luluh lantah oleh Bom
Nuklir sekutu tahun 1945 mampu bangkit kembali dengan kemajuan teknologi dan
ekonominya hingga kini. Namun kejayaan yang mereka raih tidak membuat mereka
melupakan akar budaya dan bahasanya.
Mampu mengikuti dan berbicara banyak dalam
arus global tanpa tercabut dari
akar budayanya, itulah Jepang ! Sedangkan bangsa kita baru ikut-ikutan arus
global saja, sudah mulai “kacang lupa kulitnya”.
Selain
itu kita juga dapat belajar dari negeri jiran Thailand . Universitas Rangsit di
Bangkok Thailand ,
misalnya, telah menyadari bahwa lembaga pendidikan tidak dapat menutup mata
terhadap arus global dan penggunaan bahasa asing dalam pergaulan atau kompetisi
internasional. Hanya saja, mereka juga tidak menghendaki bahasa ibu mereka
tergilas dan dilupakan. Penggunaan bahasa ibu dan bahasa asing di
duniapendidikan semestinya berimbang (Kompas, 2 Januari 2006).
Universitas
Rangsit mengadakan program pendidikan master bilingual atau dalam dua bahasa.
Sejak setahun lalu dibuka pula Satiti Bilingual School of Rangsit University
(sekolah bilingual) untuk pendidikan usia dini, pendidikan dasar, dan menengah
pertama Padamasing-masing level pendidikan, komposisi penggunaan bahasa Thai
dan Inggris di dalam kelas diatur. Untuk
kelas pendidikan usia dini, di Satit School biasanya dimulai pada usia tiga
tahun. Komposisi bahasa Inggrisnya lebih banyak, yakni 80-90 persen. Sementara
untuk level secondary (setara SLTP di Indonesia) sebaliknya, komposisi bahasa
Inggris lebih sedikit hanya 40 persen; sebagian
besar menggunakan bahasaThai.
Himbauan
untuk menggunakan bahasa Jawa Krama Inggil merupakan gerakan moral untuk menggugah
kembali “rasa sadar budaya “ kita yang sudah mulai melemah. “Baterei”
kesadaran budaya bangsa ini jika tidak segera di “ces” lambat laun tentu akan
mati. Semoga himbauan untuk berkomunikasi
berbahasa Jawa Kromo Inggil ini dilingkungan aparatur pemerintah dan sekolah
ini dapat menjadi daya ungkit untuk menggairahkan kembali bahasa Jawa Kromo
Inggil di masyarakat.
0 Response to "Belajar Lagi Bahasa Jawa Kromo Inggil"
Posting Komentar