Perpustakaan Bukan Urusan Kaleng-kaleng !

 Artikel ini pernah dimuat di rubrik kolom.news.detik.com, 27 November 2019


 Menjadikan perpustakaan sebagai urusan penting masih menjadi impian bersama 
(Foto: Johanes Randy)




Apa tugas utama perpustakaan? Tentu ada beragam jawaban, tetapi memiliki inti yang seragam bahwa perpustakaan mempunyai tugas suci mencerdaskan kehidupan bangsa. Menurut Undang-Undang Perpustakaan Nomor 43 Tahun 2007, perpustakaan diselenggarakan berdasarkan asas pembelajaran sepanjang hayat, demokrasi, keadilan, keprofesionalan, keterbukaan, keterukuran, dan kemitraan.

Perpustakaan berfungsi sebagai wahana pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi untuk meningkatkan kecerdasan dan keberdayaan bangsa. Perpustakaan bertujuan memberikan layanan literasi kepada pemustaka, meningkatkan kegemaran membaca, serta memperluas wawasan dan pengetahuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Setiap perpustakaan mengembangkan layanan perpustakaan sesuai dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi.

Narasi tentang perpustakaan di atas menunjukkan bahwa perpustakaan adalah urusan penting, bukan urusan kaleng-kaleng. Hal ini didukung oleh Permendikbud Nomor 19 Tahun 2019 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Menurut Permendikbud ini, susunan organisasi sekolah dasar dan menengah terdiri dari kepala sekolah, wakil kepala sekolah, kelompok fungsional, dan kelompok pelaksana. Kelompok fungsional adalah guru dan pustakawan.

Kelompok fungsional ini memiliki kedudukan penting dalam dunia pendidikan di negeri ini. Seleksi CPNS yang dibuka setiap tahun selalu memberi formasi lowongan guru dengan jumlah ribuan. Berdasarkan data dari sscn.bkn.go.id, tahun ini formasi guru mencapai angka 63.000. Hal ini berbeda dengan lowongan pustakawan di sekolah yang masih bisa dihitung dengan jari. Padahal, sekali lagi, perpustakaan bukan urusan kaleng-kaleng.


Lowongan Pustakawan

Tahun ini kesadaran bahwa perpustakaan bukan urusan kaleng-kaleng dimiliki oleh Kabupaten Enrekang dengan membuka formasi pustakawan untuk perpustakaan sekolah di SMP N 7 ALLA, SMP 3 Enrekang, SMP N 5 Anggeraja, dan SMP N 1 ALLA. Selain Enrekang ada pula Kabupaten Konawe Utara, Buton Tengah, Hulu Sungai Utara, Jembrana, Timor Tengah Selatan, Solok, dan Mesuji. Kabupaten Solok dan Buton bahkan membuka lowongan pustakawan untuk sekolah dasar.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 3 Tahun 2019 tentang Petunjuk Teknis Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Reguler menyebutkan bahwa dana BOS dapat dipergunakan untuk pengembangan perpustakaan. Membeli buku non-teks yaitu antara lain buku bacaan, buku pengayaan, dan buku referensi, terutama yang menunjang penguatan pendidikan karakter dan pengembangan literasi sekolah sesuai dengan mekanisme Pengadaan Barang dan Jasa Sekolah.

Dana BOS juga boleh dipergunakan untuk langganan majalah atau publikasi berkala yang terkait dengan melalui luring maupun melalui daring. Pemeliharaan atau pembelian baru buku atau koleksi perpustakaan. Peningkatan kompetensi tenaga perpustakaan. Pengembangan pangkalan data (database) perpustakaan dan perpustakaan elektronik (e-library) atau perpustakaan digital (digital library). Pemeliharaan perabot perpustakaan atau pembelian baru. Pemeliharaan dan/atau pembelian AC perpustakaan. Permendikbud ini menunjukkan bahwa perpustakaan memiliki sumber anggaran yang jelas.

Data Perkembangan dan Arah Kebijakan Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik Tahun Anggaran 2020 dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan seperti ditulis dalam website resmi Kemdikbud, 6 Agustus 2019 menargetkan output DAK fisik sektor layanan pendidikan meliputi: (1) rehabilitasi dan pembangunan ruang kelas sebanyak 31.812 ruang; (2) rehabilitasi dan pembangunan perpustakaan sekolah sebanyak 2.200 unit; (3) rehabilitasi dan pembangunan laboratorium dan ruang praktik siswa sebanyak 4.625 unit; (4) penyediaan alat praktik siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebanyak 1.112 paket; (5) pembangunan baru prasarana gedung olahraga sebanyak 30 Unit; (6) pembangunan dan rehabilitasi perpustakaan daerah sebanyak 50 unit. Poin 2 dan 6 menunjukkan bahwa perpustakaan bukan urusan kaleng-kaleng.

Pertanyaannya, perpustakaan sekolah sebanyak 2.200 unit itu siapa yang mengelolanya? Apakah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan membuka 2.200 lowongan pustakawan CPNS? Apakah perpustakaan sekolah yang sudah dibangun gedungnya itu dibiarkan tanpa penunggu? Apakah sekolah diberi kebebasan untuk mengangkat pustakawan honorer sendiri? Apakah bapak-ibu guru yang sudah sibuk mengajar itu yang akan menjaga perpustakaan sekolah?

Belum lama ini publik mendengar kabar duka seorang guru dan seorang siswa meninggal dunia karena tertimpa atap di SDN Gentong Pasuruan. Guru ini ternyata adalah tenaga perpustakaan sekolah berusia 19 tahun bernama Sevina Arsi Wijaya. Dia adalah guru pengganti karena guru kelas sedang cuti.
Negeri tercinta ini perlu cetak biru yang jelas dalam membangun perpustakaan sekolah. Pak guru saya di sekolah dulu pernah berkata, "Membaca itu penting!" Jadi, perpustakaan adalah urusan penting. Melaksanakan dengan tegak dan lurus adalah impian bersama.

Romi Febriyanto Saputro Kasi Pembinaan Arsip dan Perpustakaan pada Dinas Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Sragen

Related Posts:

Narasi Baru Tentang Minat Baca




Tulisan ini pernah dimuat di kolom news.detik.com pada tanggal  20 September 2019


Dua puluh empat tahun lalu, tepatnya pada 14 September, Presiden Soeharto mencanangkan Hari Kunjung Perpustakaan dan Bulan Gemar Membaca. Sejak zaman dahulu kala ketika peringatan Hari Kunjung Perpustakaan digelar tentu akan keluar pernyataan bahwa minat baca masyarakat Indonesia masih rendah. Masyarakat masih lebih suka menikmati budaya lisan daripada budaya membaca. Inilah narasi yang paling tidak saya sukai. Setiap tahun para pejabat yang bergerak di bidang literasi selalu menyalahkan masyarakat yang tidak mau menjadi pengunjung perpustakaan.

Narasi seperti ini sering menjadi jurus andalan penguasa sekolah yang belum ikhlas memberikan hak hidup bagi ruang perpustakaan. Anak-anak malas membaca. Mereka lebih suka membaca Whatsapp daripada membaca buku. Anak-anak lebih suka membuka Google untuk memperkaya cakrawala pengetahuan. Demikian yang pernah dikatakan oleh penguasa sekolah yang belum punya ruang perpustakaan. Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyebutkan, hingga 2018 sebanyak 36,22 persen sekolah dasar di Indonesia masih belum memiliki perpustakaan.

Anak-anak malas membaca buku karena memang sekolah tidak pernah membuka ruang perpustakaan. Anak-anak tidak mau ke perpustakaan karena rak-rak buku hanya berisi buku paket atau buku pelajaran saja. Tidak pernah ada buku karya Tere Liye, Andrea Hirata, Karl May, atau Agatha Christie di rak-rak perpustakaan sekolah. Anak-anak lebih suka membuka Google karena memang ditugaskan oleh guru. Bapak/ibu guru tidak pernah menugaskan mencari pengayaan informasi di perpustakaan sekolah karena perpustakaan baru difungsikan sebagai gudang buku paket/pelajaran. Demikian narasi tandingan yang pernah saya sampaikan kepada penguasa sekolah.
Ada pula cerita dari sebuah sekolah dengan jumlah murid hampir mencapai seribu yang belum tertarik membuka ruang perpustakaan karena akan membikin perpustakaan digital. Dalam hati saya bertanya, inikah yang disebut dengan mabuk teknologi?

Naisbitt (1999) dalam Yasraf Amir Piliang (2013) menjelaskan enam gejala mabuk teknologi yang menjerat manusia masa kini, yaitu merayakan kecepatan dan kesegeraan ("tujuh langkah menjadi milyuner", "dua hari menjadi penulis"), memuja teknologi (penyembuhan, keamanan, iman), mengaburkan yang nyata dan tiruan (virtual, cyber, artifisial), menganggap kekerasan sebagai biasa (film, perang, game), mencintai teknologi sebagai mainan (high-tech toy, internet adult game), dan terbiasa dalam ketercerabutan dari realitas (virtual community, telepresence).

Saya bukan anti dengan perpustakaan digital, tetapi semua hal tentu ada tahapan yang perlu dicapai terlebih dahulu. Membangun perpustakaan digital bagi perpustakaan yang masih jarang membeli buku cetak adalah bentuk ketercabutan dari realitas. Sampai hari ini pun ketika sudah ada Buku Sekolah Elektronik (BSE) tidak pernah menyurutkan langkah penerbit plat merah maupun swasta untuk mencetak buku itu. Mengapa? Karena anak-anak lebih nyaman membaca BSE versi tercetak daripada versi digital sehingga pemerintah selalu mewajibkan sekolah untuk selalu membeli buku paket/pelajaran. Ironisnya, buku paket/pelajaran ini selalu mengalami perubahan menyesuaikan dengan kurikulum yang rajin berubah.

Narasi pesimis tentang minat baca masyarakat juga disuarakan oleh para penguasa desa yang tidak memiliki komitmen membangun perpustakaan desa yang baik. Perpustakaan tidak ada pengunjungnya. Masyarakat tidak tertarik membaca buku. Ada pula kisah seorang fasilitator pendamping dana desa yang mengatakan bahwa perpustakaan kurang bermanfaat bagi masyarakat. Lebih baik anggaran untuk perpustakaan dialihkan saja untuk infrastruktur.

Padahal Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, seperti diberitakan, pernah menegaskan bahwa perpustakaan memiliki peran penting dalam membangun ekosistem masyarakat yang berpengetahuan. Perpustakaan diharapkan bisa meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Tjahjo menyebut masih banyak daerah di Indonesia yang belum memiliki perpustakaan. Sekarang ini masing sedikit; di provinsi baru 31, di kabupaten/kota baru 40 persen, dan desa jauh lebih sedikit lagi.

Berebut Buku

Narasi baru dalam membangun budaya literasi perlu diviralkan. Anak-anak negeri ini sangat suka membaca. Ketika saya mengikuti perjalanan perpustakaan keliling, aroma gila membaca sangat terasa. Anak-anak SD di daerah terpencil yang kami kunjungi sangat antusias untuk berebut buku. Mereka seperti orang yang kehausan buku di tengah padang pasir yang tandus ilmu pengetahuan. Senyum mereka begitu alami dalam menikmati buku.

Dalam hati saya merasa kasihan dengan anak-anak ini yang sangat merindukan buku, tetapi divonis tidak suka membaca oleh berbagai survei. Sampai hari ini saya masih penasaran dengan metodologi berbagai survei yang menjadikan masyarakat sebagai tersangka utama dalam lakon "minat baca masyarakat Indonesia rendah". Bagian mana dari negeri kepulauan ini yang menjadi sampel penelitian? Apakah dari Sabang sampai Merauke? Atau, sampel "ala kadarnya" yang diambil secara serabutan?

Suguhkan dulu buku-buku yang menarik kepada anak-anak. Lihat reaksi mereka, apakah akan diam saja, cuek, atau berebut untuk membaca? Setelah itu silakan membuat narasi tentang minat baca anak-anak negeri ini. Jangan sampai buku belum disuguhkan kita berkata bahwa anak-anak tidak suka membaca. Anak-anak yang tidak suka membaca buku matematika jangan divonis tidak suka membaca buku. Mungkin mereka lebih suka membaca buku sejarah. Jangan sampai ada narasi tunggal yang memojokkan anak-anak Indonesia.

Hasil berbagai survei minat baca masyarakat yang rendah bertentangan dengan minat beli buku masyarakat Indonesia. Berdasarkan laporan platform e-commerce global Picodi.com (2018), minat masyarakat Indonesia untuk membeli buku berada di peringkat kelima di Asia. Peringkat Indonesia ini jauh lebih baik dibandingkan dengan Singapura dan Vietnam. Survei menunjukkan, sebanyak 63% masyarakat Indonesia membeli buku minimal satu dalam setahun. Angka ini sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan Vietnam sebesar 60% dan Singapura 51%. Namun, Indonesia masih kalah dibandingkan dengan Thailand yang mencatat skor 79%, Malaysia 76%, dan Filipina 69%.

Dari survei di atas ada beberapa pertanyaan yang mengganjal di hati saya. Singapura adalah juara gila membaca menurut berbagai survei, tetapi mereka tidak suka membeli buku? Indonesia malas membaca buku, tetapi suka membeli buku? Adakah orang yang malas membaca buku, tetapi suka membeli buku? Orang yang suka membeli buku adalah orang yang suka membaca buku?
Saya sangat merindukan narasi baru bahwa ternyata masyarakat Indonesia suka membaca dan suka membeli buku. Apalagi ketika ditawari buku KKN di Desa Penari. Siapa yang kuasa menolak untuk tidak membaca?

Romi Febriyanto Saputro Kasi Pembinaan Arsip dan Perpustakaan pada Dinas Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Sragen

Related Posts: