Refleksi Hari Kunjung Perpustakaan, 14 September 2003 Perpustakaan, Antara Obsesi & Realitas
-->
Mungkin
tak banyak orang yang tahu bahwa tanggal 14 September 2003 yang lalu adalah
“Hari Kunjung Perpustakaan”. Hal ini
sangat berbeda dengan peringatan “Hari Pendidikan Nasional” yang begitu meriah
diperingati setiap tanggal 2 Mei. Hal ini terasa sangat ironis, mengingat peran
keduanya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa tak dapat dipisahkan.
Dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945 disebutkan
bahwa salah satu tujuan pembangunan nasional ialah “Ikut Mencerdaskan Kehidupan
Bangsa”. Jadi para pendahulu kita menginginkan agar kita menjadi bangsa yang
cerdas. Dengan kata lain bangsa yang cinta akan ilmu pengetahuan. Disinilah
peran penting dari perpustakaan, karena perpustakaan melayani kebutuhan
masyarakat yang haus dan cinta ilmu pengetahuan.
Pendidikan dan
perpustakaan sebenarnya merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan (integral). Seperti telah
dicanangkan oleh UNESCO, bahwa pendidikan untuk semua (education for all),
dapat lebih berhasil jika dilengkapi oleh perpustakaan. Oleh karena pendidikan
merupakan proses alih dan pengembangan ilmu pengetahuan, dengan sekolah dan
perpustakaan sebagai medianya, maka perkembangan bidang pendidikan berkaitan
erat dengan keberadaan perpustakaan. Sesuai dengan kemajuan teknologi dan ilmu
pengetahuan, maka pendidikan juga berkembang, sehingga antara pendidikan dan
perpustakaan bagaikan dua sisi mata uang yang sama nilainya dan tak dapat
dipisahkan, keduanya saling melengkapi dan mengisi (Soetarno, 2003).
Perpustakaan adalah penunjang
utama kegiatan pendidikan baik formal maupun informal. Dengan kata lain
perpustakaan sebagai sarana pembelajaran masyarakat. Hal ini sejalan
dengan dua prinsip pendidikan yang dikemukakan Unesco (1994). : a). Pendidikan
harus diletakkan pada empat pilar, yaitu belajar mengetahui (learning to know),
belajar melakukan (learning to do), belajar hidup dalam kebersamaan (learning
to live together) dan belajar menjadi diri sendiri (learning to be). b).
Belajar seumur hidup (life long learning).
Dua prinsip pendidikan dari UNESCO di atas tentu saja
memerlukan perpustakaan sebagai fasilitatornya. Kurikulum Berbasis Kompetensi (
KBK ) yang lebih mengutamakan inovasi dan improvisasi juga sangat memerlukan
dukungan koleksi bahan pustaka yang beragam, sehingga kreativitas pelajar akan
lebih terasah..
Pendidikan sektor informalpun sangat memerlukan
dukungan perpustakaan, karena melalui perpustakaan masyarakat dapat belajar
secara otodidak, melakukan penelitian, menggali, memanfaatkan dan
mengembangkan sumber informasi dan ilmu
pengetahuan yang sesuai dengan bakat dan potensinya.
Perpustakaan
juga berfungsi sebagai agen perubahan, agen pembangunan dan agen kebudayaan .
Sebab berbagai penemuan, sejarah, pemikiran dan ilmu pengetahuan pada waktu
lampau disimpan dan didokumentasikan di perpustakaan untuk dipelajari, diteliti
dan dikembangkan oleh generasi sekarang untuk mencapai kemajuan.
Fungsi
perpustakaan yang sangat penting adalah sebagai sarana untuk menumbuhkembangkan
minat baca masyarakat melalui penyediaan koleksi bahan pustaka yang sesuai
dengan minat dan kebutuhan masyarakat. Sehingga pada akhirnya nanti akan
terwujud masyarakat yang berbudaya membaca . Masyarakat yang berbudaya membaca
merupakan salah satu ciri penting dari masyarakat yang sudah maju. Terwujudnya
budaya membaca berarti terwujudnya kemudahan untuk mengakses informasi.
Kemudahan mengakses informasi merupakan ikon penting untuk mencapai kemajuan.
Mengingat
fungsi penting perpustakaan di atas sudah selayaknya jika bangsa ini
menempatkan perpustakaan sebagai ikon penting untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa sesuai amanah para pendiri bangsa ini dalam Pembukaan UUD 1945.
Selama ini perpustakaan memang dianaktirikan dalam proses pembangunan.
Pembangunan fasilitas pendidikan misalnya, sangat jarang memberikan tempat
khusus untuk ruang perpustakaan. Hal ini
memang merupakan fenomena yang memprihatinkan . Membangun gedung sekolah tanpa
ruang perpustakaan yang berarti membangun pendidikan tanpa pilar yang kuat.
Bagaimana bisa terbentuk Cara Belajar Siswa Aktif, jika mereka kesulitan
mencari referensi karena tidak adanya perpustakaan yang memadai.
Realitas
Pemerintah memang telah
banyak membuat seperangkat peraturan yang mengatur aspek kelembagaan dari
perpustakaan , mulai dari Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Provinsi,
Perpustakaan Umum, Perpustakaan Sekolah, Perpustakaan Perguruan Tinggi, bahkan
sampai ke Perpustakaan Desa. Namun kebijakan aspek kelembagaan ini tidak
diikuti dengan implementasi nyata di lapangan. Ada jurang yang lebar antara obsesi
pemerintah dalam peraturan tersebut dengan realita dilapangan.
Fuad Hasan (2001) mengungkapkan, berdasarkan data tentang perpustakaan
sekolah dan lembaga pendidikan yang lain beserta perpustakaan umum disebutkan
sebagai berikut : (1) Dari 200.000
Sekolah Dasar hanya sekitar 1 (satu) persen yang memiliki perpustakaan standar;
(2) Dari sekitar 70.000 Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama (SLTP) baru 34 % yang memiliki perpustakaan standar, (3) Dari
sekitar 14.000 Sekolah Menengah Umum hanya sekitar 54 % yang memiliki
perpustaakaan standar, (4) Dari sekitar 4.000 Perguruan Tinggi hanya
kurang lebih 60 % yang mempunyai perpustakaan standar. Sedangkan untuk
perpustakaan umum, desa/kelurahan dan kecamatan tidak lebih dari 0,5 % yang
memiliki perpustakaan standar .
Selama ini perpustakaan
sekolah hanya menjadi tugas sampingan dari guru (biasanya guru bahasa Indonesia ).
Padahal tugas mengelola perpustakaan bukan masalah yang sederhana, melainkan
memerlukan keseriusan dan totalitas pengabdian.
Pemerintah perlu
menyelesaikan masalah ini dengan mengangkat petugas khusus pengelola
perpustakaan, misalnya pustakawan kontrak .
Kalau untuk memenuhi kekurangan tenaga pengajar pemerintah mengangkat
guru kontrak, apa salahnya jika sekarang pemerintah mengangkat pustakawan
kontrak. Karena kebutuhan dunia pendidikan terhadap tenaga pengajar hakekatnya
sama pentingnya dengan kebutuhan perpustakaan sekolah terhadap pengelola
perpustakaan.
Kondisi perpustakaan desa mungkin paling
memprihatinkan dibanding jenis perpustakaan yang lain. Perpustakaan desa boleh
jadi hanya hidup pada saat-saat tertentu saja, misalnya saat ada lomba desa.
Diluar itu kondisinya “hidup segan mati tak mau”.
Minat baca masyarakat desa yang rendah sering menjadi
kambing hitam. Padahal mungkin saja rendahnya minat baca masyarakat desa karena
tidak adanya perpustakaan desa yang berkualitas. Bagaimana mungkin masyarakat
desa terangsang untuk membaca jika koleksi perpustakaan desanya sudah
ketinggalan jaman dan tidak sesuai dengan kebutuhan/selera masyarakat (karena
koleksinya biasanya hanya buku-buku bantuan).
Minat baca masyarakat
sebenarnya berbanding lurus dengan kualitas perpustakaan yang ada. Jadi tidak
perlu heran jika minat baca masyarakat kita masih rendah, karena memang tidak
didukung dengan perpustakaan yang berkualitas. Juga tidak perlu heran jika
masyarakat Jepang memiliki budaya baca yang tinggi, karena didukung oleh
perpustakaan yang “qualified”. Jadi perlu keseriusan pemerintah untuk memajukan
perpustakaan desa.
Harian Suara Merdeka, 12 Juni 2003 memberitakan bahwa Perpustakaan Umum
Wonosobo memperoleh penghargaan “Inovasi Manajemen Perkotaan Award (IMP
Award)”, dengan jumlah pengunjung perpustakaan mencapai rata-rata 1.000
(seribu) orang setiap hari.
Hal ini memang merupakan fenomena yang menggembirakan dunia perpustakaan,
hanya saja sayangnya kondisi Perpustakaan Umum Wonosobo ini tidak mewakili
kondisi perpustakaan umum di Indonesia .
Kebanyakan jumlah pengunjung perpustakaan umum masih jauh dibawah angka 1.000
pengunjung, yaitu sekitar 50 – 250 pengunjung.
Kedua, dukungan dari
Pemerintah Kabupaten cukup besar andilnya dalam memajukan dunia perpustakan di
daerahnya. Untuk negara berkembang seperti Indonesia yang pemberdayaan
masyarakatnya masih lemah, maka peran pemerintah dalam memajukan dunia
pendidikan khususnya perpustakaan masih cukup besar. Masyarakat yang masih
banyak terimpit krisis ekonomi sulit diharapkan perannya dalam memajukan
perpustakaan tanpa fasilitator utama dari pemerintah.
Ketiga, gedung perpustakaan
harus cukup luas dan representatif serta mau menyesuaikan diri dengan
pengembangan perpustakaan ke depan. Pembangunan gedung perpustakaan tidak bisa
seadanya tanpa konsep yang jelas. Tetapi perlu diperhitungkan dengan matang
untuk mengembangkan jenis layanan yang ada. Seperti : ruang layanan
anak-anak, ruang layanan referensi, ruang layanan pandang dengar dan lain-lain.
Selain itu yang tak kalah pentingnya lokasi perpustakaan harus strategis untuk
memudahkan masyarakat mengakses informasi.
Keempat, sistem layanan tradisional sudah saatnya ditinggalkan menuju sistem
layanan otomasi perpustakaan, sehingga semakin memudahkan masyarakat dalam
mengakses informasi. Dengan demikian terwujudlah layanan prima perpustakaan
yang dapat merangsang masyarakat untuk datang ke perpustakaan.
Kelima, pengembangan jenis dan layanan yang ada cukup besar andilnya
dalam merangsang masyarakat untuk dating ke perpustakaan yang pada akhirnya
akan meningkatkan minat baca mereka. Perpustakaan modern tentu saja tidak hanya
melayani pinjam-meminjam buku, tetapi perlu dikembangkan dengan : (1) warung
informasi dan teknologi (warintek), (2) layanan pandang dengar, misalnya VCD
pendidikan dan pengetahuan, (3) layanan penerjemahan bahasa asing, (4) layanan
kursus komputer, dan (5) layanan informasi terseleksi.
Selain itu untuk meningkatkan citra layanan perpustakaan penambahan jam
layanan perpustakaan perlu dilakukan guna menampung seluruh aspirasi masyarakat
yang ingin berkunjung ke perpustakaan.
0 Response to "Refleksi Hari Kunjung Perpustakaan, 14 September 2003 Perpustakaan, Antara Obsesi & Realitas"
Posting Komentar