Meluruskan Salah Kaprah Menilai Buku !
Oleh Romi Febriyanto Saputro
Artikel ini telah dimuat di Majalah Buletin Pustakawan, Edisi Pertama Januari - Juni 2012
Buku
pengayaan mata pelajaran Bahasa Indonesia membuat resah sejumlah guru sekolah
dasar (SD) di Kebumen, Jawa Tengah. Sebab, bagian buku itu dinilai mengumbar
kisah cinta dan trik berhubungan intim. Buku kontroversial itu, seperti dikutip
Metronews.com (Jumat, 1 Juni 2012), berjudul Ada Duka di Wibeng, Tambelo Kembalinya Si Burung Camar dan Tidak Hilang
Sebuah Nama. Di kalimat dalam salah satu buku itu dinilai tak mendidik
karena menuliskan “berciuman” saat berpacaran itu “biasa.
Buku
Ada Duka di Wibeng karya Jazimah Al
Muhyi menceritakan tentang rasa empati tokoh utama Akta kepada Bik Sum
(Sumarah) seorang perempuan pemilik kantin di sekolahnya yang meninggal karena
komplikasi. Sadarlah sang tokoh bahwa selama ini Dia sangat berjasa kepadanya,
terutama tentang urusan perut. Atas kejadian tersebut Akta merasa kehilangan ,
inilah hari yang menyedihkan bagi Dia.
Melalui
Akta (tokoh utama) dan Wibeng (singkatan SMA Widya Bangsa) sebagai setting tempatnya, sang pengarang
memotret berbagai isu remaja yang berkembang saat ini. Bahkan tidak
tanggung-tanggung Ia membagi novel ini kedalam 15 Bab.Yang berisi antara lain
tentang perhatian siswa terhadap guru lelakuinya yang masih single, tentang
teman-teman perempuannya yang memakai jilbab hanya sebagai “kedok” ,karena
hanya bertahan selama satu bulan.
Tuduhan
bahwa buku ini memuat pornografi mungkin muncul ketika sang tokoh Akta akan
kekamar kecil di sekolahnya. Terdengar dari dalam pembiacaraan teman-teman
ceweknya yang berkaitan dengan hubungan sesama remaja. Terdengar oleh Akta
bahwa menurut mereka hubungan sebelum nikah adalah hal yang biasa, asalkan
dilakukan suka sama suka.
Buku
ini jelas tidak mengajak pembaca untuk melakukan seks bebas melainkan
menceritakan sebuah kenyataan empiris bahwa ada remaja yang menganut paham seks
bebas. Tokoh Akta tidak setuju dengan
hal ini.
Tambelo,
Kembalinya Si Burung Camar merupakan novel dewasa karya Redhite Kurniawan. Salah
satu bagian buku ini menceritakan bahwa ketika Roni mendengarkan
muridnya bergembira menyanyi tiba-tiba datang gerombolan mendatangi rumah
kepala desa dan sekolahnya untuk disuruh menyediakan solar untuk kepentingan
perahunya.
Karena tidak dapat menyiapkan, para
perampok membawa Clara anak kepala desa
dan Roni ke dalam hutan sebagai sandera. Saat disandera inilah Clara bermaksud
untuk dilepaskan. Sebagai jaminan Clara bersedia bermalam dengan ketua
gerombolan , asal dia dan Roni dilepaskan. Sayang pagi itu setelah Clara
mengorbankan dirinya, Penjahat tersebut mengingkari janjinya. Beruntung orang
orang kampung menyerbu dan melawan para penjahat tersebut sehingga mereka bisa
terselamatkan.
Tidak,
Hilang Sebuah Nama merupakan buku karya Galang Lufityanto yang mengambil
setting di Melbourne. Novel ini merupakan novel misteri sebagaimana novel
misteri Agatha Christie yang tentu saja tak luput menceritakan kekerasan,
dendam, dan pembunuhan.
Salah Alamat
Kontroversi
ketiga buku ini bukan karena isinya, namun karena ketidakcermatan tim pengadaan
buku bantuan perpustakaan dalam menelaah isi sebuah buku. Buku untuk dewasa
jika dialamatkan untuk anak-anak merupakan bentuk keteledoran yang cukup
memprihatinkan. Ketiga buku ini mungkin lebih layak jika diperbantukan di perpustakaan
umum untuk konsumsi orang dewasa.
Menyusun
daftar judul buku perpustakaan – apalagi untuk konsumsi anak SD - memang bukan
urusan yang mudah dilakukan. Perlu waktu untuk mengkaji apakah sebuah buku
layak dikonsumsi oleh anak-anak. Sebuah buku untuk konsumsi dewasa meskipun
berisi ajaran kebaikan namun jika dibaca anak-anak sangat berpotensi
menimbulkan salah kaprah pemahaman.
Dalam
ilmu perpustakaan dikenal istilah seleksi bahan pustaka. Seleksi bahan pustaka
merupakan kegiatan untuk memilih judul buku perpustakaan yang kelak akan
disajikan kepada pemustaka (pengguna). Dalam seleksi bahan pustaka kepentingan
pemustaka atau pengguna buku harus menjadi perhatian utama. Adanya buku yang
salah alamat dalam kasus ini membuktikan bahwa telah terjadi kesalahan dalam
proses seleksi bahan pustaka.
Untuk perpustakaan sekolah dengan mayoritas
pemustaka adalah anak-anak tentu yang harus tersedia di rak koleksi adalah buku
anak-anak. Saat ini - meskipun belum terlalu banyak- sudah ada
penerbit-penerbit yang mulai peduli untuk menerbitkan buku khusus untuk anak.
Seperti novel anak, sains untuk anak, dan agama yang ditulis dengan gaya yang akrab dengan dunia anak.
Bahkan
ada juga novel yang ditulis oleh anak, dari anak dan untuk anak. Serial KKPK
(Kecil-Kecil Punya Karya dari DAR!Mizan dan PCPK (Penulis Cilik Punya Karya)
dari Forum Lingkar Pena merupakan sebuah buku yang sengaja didedikasikan untuk
dunia anak.
Untuk
mencegah agar kasus ini tidak terulang di masa depan, perlu dilakukan beberapa
langkah kebijakan, pertama, bantuan buku
untuk perpustakaan sekolah diwujudkan dalam bentuk uang. Beri kebebasan kepada
perpustakaan sekolah untuk membeli buku yang sesuai dengan visi, misi, dan
karakter setiap sekolah.
Selama
ini cukup banyak bantuan buku untuk perpustakaan sekolah yang tidak sesuai
dengan selera sekolah. Dana Alokasi Khusus (DAK) perpustakaan akan lebih
bermanfaat jika diberikan dalam bentuk BOPS (Bantuan Operasional Perpustakaan
Sekolah) sebagaimana BOS (Bantuan Operasional Sekolah).
Hanya
saja proses ini harus tetap kita awasi bersama agar bebas dari praktik korupsi,
kolusi, dan nepotisme!. Mengingat dari pemberitaan surat kabar ada gedung
perpustakaan sekolah bantuan dari DAK Pusat yang tergolong baru namun sudah mengalami
kerusakan.
Kedua,
sebagaimana produk film, penerbit mungkin perlu menampilkan label tentang
segmen umur pembaca di cover buku. Guna
mencegah agar kasus salah alamat konsumsi buku ini tidak terulang lagi di masa
depan. Karena kasus semacam ini disamping merugikan masyarakat juga mencemarkan
nama baik pengarang buku dan penerbit. Bagaimana mungkin sebuah buku yang ”
terletak di tempat yang salah” langsung
divonis sebagai sebuah buku porno?
Hal
ini jelas merupakan praktik salah kaprah dalam menilai buku. Mengingat penerbit
ketiga buku ini selama ini cukup dikenal sebagai penerbit buku-buku Islami yang
sudah barang tentu antipornografi. Di luar sana ada banyak buku yang covernya
mengumbar aurat wanita, tetapi sampai sekarang juga tidak dipermasalahkan.
Sungguh ironis bukan ?
Ketiga,
bangsa ini perlu belajar membaca buku dengan arif dan bijak. Tidak menggunakan
kacamata hitam-putih dalam memahami sebuah isi buku. Buku adalah refleksi dari
sebuah kenyataan yang ada di masyarakat.
Sebuah buku sangat mungkin memotret kebaikan, kebajikan, dan keteladanan
melalui tokoh-tokoh protagonis. Namun di sisi lain, juga sangat mungkin
menayangkan kekerasan, keculasan, dan kebobrokan moral melalui tokoh-tokoh
antagonis.
Pembaca
yang bijak tentu akan mengambil yang baik bukan yang buruk !
0 Response to "Meluruskan Salah Kaprah Menilai Buku !"
Posting Komentar