Ki Hajar Dewantara, Pendidikan dan Kebudayaan

Oleh : Romi Febriyanto Saputro 


Indonesia berada di urutan ke -77 dari total 119 negara di dunia dalam peringkat Global Talent Competitiveness Index (GTCI) 2018 yang bertema keberagaman untuk meningkatkan daya saing. Peringkat tersebut jauh lebih rendah dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia di peringkat 27, Filipina di posisi 54, Thailand di peringkat 70. Indonesia berada setingkat di bawah Rwanda, dan sedikit lebih unggul dibandingkan India dan Srilanka yang masing-masing menempati peringkat 81 dan 82. Sementara peringkat pertama diraih oleh Swiss, yang diikuti oleh negara maju lainnya seperti Singapura, Amerika Serikat, Norwegia, dan Swedia (Bisnis Indonesia, 23 Januari 2018).



GTCI merupakan laporan komprehensif tahunan yang dapat dijadikan indikator untuk mengukur bagaimana suatu negara dan kota berkembang dan menyediakan sumber daya manusia untuk meningkatkan daya saing mereka. Dalam mengukur indeks GTCI, lima pilar yang digunakan antara lain enable, atau keberagaman dalam pengetahuan, pengalaman, dan cara menyelesaikan masalah. Pilar kedua dan ketiga adalah attract atau kemampuan menarik sumber daya asing, dan grow atau kemampuan untuk meningkatkan kompetensi diri melalui pendidikan dan pelatihan. Sementara dua pilar lainnya yang digunakan sebagai penilaian adalah pendidikan vokasional dan teknikal serta pengetahuan global.



Hasil survei di atas tentu tidak harus ditelan mentah-mentah sebagai suatu kebenaran. Betapa banyak pasangan calon kepala daerah yang  menang di dunia "survei" tetapi kalah di dunia nyata. Hasil survei cukup disikapi sebagai sebuah cermin untuk senantiasa berbenah memperbaiki cara membangun sumber daya manusia yang baik. Sebuah cara yang berbasis pada kearifan lokal khas negeri tercinta dan tidak mudah silau dengan "cara" dari luar negeri yang belum tentu cocok untuk diterapkan di negeri tercinta.

KI Hajar Dewantara adalah sebuah mutiara terlupakan dalam dunia pendidikan di tanah air.  Padahal buah pikir beliau tentang strategi membangun sumber daya manusia yang baik tak kalah dengan pakar pendidikan dari negeri seberang. Pemikiran beliau mampu melampaui zaman ketika beliau masih mengabdi untuk negeri tercinta.  Bahkan polemik tentang ujian nasional yang sering dianggap siswa sebagai monster pernah beliau ulas dengan jitu.

Dalam buku 60 tahun Tamansiswa, 1922-1982,  Ki Hajar Dewantara menilai kelemahan para pemuda dan anak-anak dalam belajar adalah karena adanya tuntutan besar pada ujian yang harus dijalani. Hal ini dapat menyebabkan suasana belajar menjadi kurang tenteram dan kondusif.  Anak-anak dan pemuda-pemuda kita sukar dapat belajar dengan tentram, karena dikejar-kejar oleh ujian-ujian yang sangat keras dalam tuntutan-tuntutannya.

Lebih lanjut Ki Hajar Dewantara juga menilai bahwa belajar tidak lagi dilihat sebagai kebutuhan jiwa untuk dapat berkembang menjadi individu yang lebih baik. Patokan nilai dan ranking tinggi menjadi tujuan belajar yang telah bergeser serta cenderung mengekang para murid. Prestasi tidak lagi dilihat sebagai hal yang dibutuhkan melainkan hanya sebatas status.



Demi memburu status inilah banyak dijumpai orang tua yang cemas dengan prestasi anaknya ketika berhadapan dengan ujian. Akhirnya, orang tua mengambil jalan pintas dengan "mengarahkan' anak-anak mengikuti les/privat setelah pulang sekolah. Kecemasan orang tua ini secara otomatis juga menular ke anak-anak. Mereka merasa tidak percaya diri menghadapi ujian tanpa mengikuti "bimbingan belajar" di luar sekolah. Anehnya,  ada juga guru yang berkata kepada muridnya bahwa jika tidak paham dengan pelajaran di bangku sekolah, peserta didik  bisa mengikuti bimbingan belajar di luar sekolah.

Pola pendidikan  seperti ini membuat anak mengalami kelelahan jiwa. Psikolog Hellen Damayanti seperti dikutip Republika, 4 Maret 2015,  mengatakan, berdasarkan hasil survei menyebutkan 44 persen pelajar merasa stress menghadapi ujian dan tugas. Menurut dia tingkat stress remaja menjelang ujian nasional sangat tinggi, sedangkan 12 persen diliputi kegalauan akibat rasa takut tidak naik kelas. Faktor lainnya yakni karena para pelajar merasa bingung mencari sekolah lanjutan atau pindah ke sekolah yang dinilainya.

Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah tuntunan dalam hidup  tumbuhnya anak-anak. Adapun maksudnya pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Demi kepandaian, keterampilan, dan keluhuran budi pekerti para siswa-siswinya, para Pamong/Guru ikhlas dan rela berkorban untuk bekerja keras, disiplin, penuh tanggung jawab mendidik dan mengajar siswa-siswinya.

Abudin Nata (2005) mengungkapkan bahwa menurut Ki Hadjar pendidikan budi pekerti bukanlah mengajarkan teori-teori tentang baik buruk dengan dalil-dalinya yang serba menjelimet, yang ia kehendaki dengan pendidikan budi pekerti adalah pembiasaan berbuat baik pada diri anak dalam kehidupan sehari-hari, hingga mendarah daging, dan kalaupun ada penjelasan dan keterangan, tapi hal yang demikian dilakukan hanya sebagi penguat, alat dan bukan tujuan.

Selain itu, pendidikan budi pekerti harus bersifat integrated dengan pengajaran pada setiap bidang studi. Atau dengan kata lain, Ki Hadjar menginginkan bahwa pada setiap pengajaran bidang studi apapun harus mengintegrasikannya dengan pendidikan budi pekerti, dan tidak berhenti pada pengajaran mata pelajaran tersebut.

Ki Hadjar juga menyatakan terhadap anak-anak kecil cukuplah kita membiasakan mereka untuk bertingkah laku yang baik, sedangkan bagi anak-anak yang sudah dapat berfikir, seyogyanya diberikan keterangan-keterangan yang perlu, agar mereka dapat pengertian dan keinsyafan tentang kebaikan dan keburukan pada umumnya. Barang tentu perlu juga kepada anak-anak dewasa kita berikan anjuran-anjuran untuk melakukan pelbagai laku yang baik dengan cara disengaja. Dengan begitu maka syarat pendidikan budi pekerti yang dahulu biasa disebut metode menyadari, menginsyafi dan melakukan dapat terpenuhi.

Pendidikan  dan kebudayaan adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Kebudayaan menurut Ki Hadjar Dewantara  sebagaimana dikutip Ki Sunarno Hadiwijoyo(2006) adalah buah budi dan hasil perjuangan hidup manusia. Sebagai buah budi manusia kebudayaan digolongkan menjadi tiga yaitu pertama, buah pikiran, seperti : ilmu pengetahuan, teknologi, pendidikan dan pengajaran, filsafat, dan sejenisnya.

Kedua, buah perasaan, yaitu segala yang bersifat indah, luhur, baik, benar, adil, seperti: adat istiadat (etika), seni (estetika), relegiusitas, dan sejenisnya. Ketiga, Buah kemauan, yaitu semua cara perbuatan dan usaha manusia, contohnya aturan, hukum, perundang undangan, tata cara, perdagangan, perindustrian, pertanian dan sejenisnya.

Menguatkan pendidikan artinya memajukan kebudayaan. Membangun kebudayaan adalah proses memajukan pendidikan. Inilah intisari dari ajaran Ki Hajar Dewantara dalam membangun manusia Indonesia seutuhnya. Menjadi manusia yang berbudi pekerti luhur. Budi pekerti inilah yang nanti menjadi pondasi dalam mencerdaskan anak bangsa.  Cerdas tanpa landasan budi pekerti luhur adalah cerdas imitasi.  Kecerdasan yang tidak akan memberi manfaat kepada lingkungan sekitar.

Dalam buku Menuju Manusia Merdeka (2009), Ki Hajar Dewantara mengingatkan bahwa pemeliharaan kebudayaan harus bertujuan memajukan dan menyesuaikan kebudayaan dengan setiap pergantian alam dan zaman. Memasukkan kebudayaan lain yang tidak sesuai dengan alam dan zamannya merupakan pergantian kebudayaan yang menyalahi tuntunan kodrat dan masyarakatnya dan  hal ini membahayakan. Kemajuan kebudayaan harus berupa kelanjutan langsung dari kebudayaan nasional menuju kea rah kesatuan kebudayaan dunia dan tetap mempunyai sifat kepribadian dalam lingkungan kemanusiaan sedunia.

Tulisan ini pernah dimuat Kompasiana, 20 April 2018  dan memperoleh penghargaan sebagai Juara 2 dalam Lomba Artikel dan Karya Jurnalistik Pendidikan dan Kebudayaan dalam rangka Hari Pendidikan Nasional 2018 yang di selenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Related Posts:

0 Response to "Ki Hajar Dewantara, Pendidikan dan Kebudayaan"