Selamat Tinggal DP-3 !
-->
Oleh Romi Febriyanto Saputro*
Artikel ini telah dimuat di Harian Joglosemar, 13 Juni 2012
Pemerintah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2011 tentang Penilaian
Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil (PNS). Tujuannya untuk meningkatkan
prestasi dan kinerja PNS. PP ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan, yakni
30 November 2011, dan akan mulai dilaksanakan pada tanggal 1 Januari
2014.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi Azwar Abubakar menyambut baik terbitnya aturan
tersebut. Dengan adanya ketentuan tersebut, diharapkan berdampak pada pelayanan
publik di setiap birokrasi pemerintahan, selain itu untuk mempermudah mengukur kinerja
(www.bkn.go.id).
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun
2011 ini menggantikan Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1979 tentang Daftar Penilaian Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil (DP3).
DP-3 adalah suatu daftar yang memuat
hasil penilaian pekerjaan seorang pegawai dalam jangka waktu satu tahun.
Kelemahan dari DP3 ini adalah tak
ada tolok ukur yang bersifat kuantitatif. Unsur yang masuk dalam penilaian
masih bersifat kabur, tidak jelas, dan terlalu normatif. Prestasi kerja
misalnya, selama ini tidak ada tolok ukur yang jelas untuk membedakan antara
pegawai yang memiliki kompetensi dan yang tidak memiliki kompetensi. Kegagalan
DP3 sebagai alat ukur kompetensi PNS menunjukkan bahwa pelaksanaan DP3 hanya
formalitas belaka.
DP3 praktis hanya menjadi alat kelengkapan
administratif belaka. Daftar nilai yang tercantum di dalamnya tidak
mencerminkan realitas sebenarnya. PNS yang rajin dan yang malas, tidak memiliki
perbedaan nilai yang berarti. Peningkatan kinerja seorang PNS tidak dengan
sendirinya memperoleh penghargaan dalam DP3.
Sebaliknya, penurunan kinerja
seorang PNS tidak dengan sendirinya terekam dalam DP3. Sebab, ada semacam
kesepakatan tidak tertulis, kenaikan DP3 tidak hanya diberikan ketika seorang
PNS mengajukan proses kenaikan pangkat. Jadi, seorang PNS yang memiliki
kompetensi atau tidak, akan memperoleh kenaikan nilai DP3 sepanjang untuk
proses kenaikan pangkat.
Anehnya lagi, DP3 seorang PNS
sembilan puluh sembilan persen juga tidak akan pernah mengalami penurunan apa
pun yang terjadi. Jika ada peristiwa penurunan nilai tentu akan menimbulkan
kehebohan tersendiri karena merupakan peristiwa langka. Peristiwa langka ini
baru saja terjadi di Puskesmas Ngrampal Kabupaten Sragen.
Sebagaimana diberitakan oleh Harian
Joglosemar, 28 Februari 2012, delapan belas PNS yang mengalami penurunan nilai
DP3, menyatakan tidak terima dengan penilaian atasan. Sementara itu, kepala
puskesmas beralasan bahwa nilai yang diberikan pada tahun sebelumnya terlalu
tinggi. Kejadian ini merupakan akibat dari ambiguitas DP3 sehingga sangat
rentan mengalami tafsir ganda.
Kenyataan
empirik menunjukkan proses penilaian pelaksanaan pekerjaan PNS cenderung terjebak ke dalam
proses formalitas. DP3-PNS dirasa
telah
kehilangan arti dan makna substantif, tidak berkait langsung dengan apa
yang telah dikerjakan PNS. DP3-PNS secara substantif tidak dapat digunakan
sebagai penilaian dan pengukuran seberapa besar produktivitas dan kontribusi
PNS terhadap organisasi. Seberapa besar keberhasilan dan atau kegagalan PNS
dalam melaksanakan tugas pekerjaannya.
Penilaian DP3-PNS, lebih
berorientasi pada penilaian kepribadian (personality) dan perilaku
(behavior) terfokus pada pembentukan karakter individu dengan menggunakan
kriteria behavioral, belum terfokus pada kinerja, peningkatan hasil,
produktivitas (end result) dan pengembangan pemanfaatan potensi.
Beberapa tinjauan terkait dengan
implementasi DP-3 PNS selama ini, proses penilaian lebih bersifat rahasia,
sehingga kurang memiliki nilai edukatif, karena hasil penilaian tidak
dikomunikasikan secara terbuka. Selain itu, pengukuran dan penilaian prestasi kerja
tidak didasarkan pada target goal (kinerja standar/harapan), sehingga
proses penilaian cenderung terjadi bias dan bersifat subyektif (terlalu
pelit/murah).
Untuk
mengatasi aneka kelemahan yang ada pada DP3, maka BKN merumuskan metode baru dalam melihat kinerja PNS melalui
pendekatan metode SKP (Sasaran Kerja PNS) sebagaimana diatur dalam PP
Nomor 46 Tahun 2011. Melalui metode ini,
penilaian prestasi kerja PNS secara sistemik menggabungkan antara penilaian Sasaran Kerja
Pegawai Negeri Sipil dengan penilaian perilaku kerja. Penilaian prestasi kerja
terdiri dari dua unsur
yaitu SKP dan Perilaku Kerja
dengan bobot penilaian unsur SKP
sebesar 60 % dan perilaku kerja sebesar 40 % .
Penilaian SKP meliputi aspek-aspek: Kuantitas, Kualitas, Waktu, dan/atau Biaya. Sementara Penilaian
perlaku kerja meliputi
unsur: Orientasi Pelayanan,
Integritas, Komitmen, Disiplin, Kerjasama, dan
Kepemimpinan. SKP ditetapkan
setiap tahun pada bulan Januari dan digunakan sebagai dasar penilaian prestasi
kerja.
Selain melakukan Kegiatan Tugas Jabatan yang sudah menjadi tugas dan fungsi,
apabila seorang pegawai memiliki tugas tambahan
terkait dengan jabatan,
maka dapat dinilai
dan ditetapkan menjadi tugas tambahan. PNS yang melaksanakan tugas tambahan
yang diberikan oleh pimpinan/ pejabat penilai yang berkaitan dengan tugas pokok
jabatan, hasilnya dinilai sebagai bagian dari capaian SKP.
Selain
tugas tambahan, PNS yang telah menunjukkan kreatifitas yang bermanfaat
bagi organisasi dalam melaksanakan tugas pokok jabatan, hasilnya juga dapat dinilai sebagai
bagian dari capaian
SKP.
Konsep
SKP ini sebenarnya cukup bagus. Namun, penulis masih menyimpan tanda tanya
besar apakah kelak wacana SKP ini sama dengan wacana SKI (Sasaran Kerja
Individu) pada tahun 2005. SKI berisi daftar target kerja yang harus dikerjakan
dan diselesaikan PNS dalam waktu
tertentu. Nasib SKI sampai saat ini tidak jelas, hingga munculnya wacana SKP.
SKP
sebagai instrument untuk mengukur dan melahirkan PNS yang berkompeten perlu menjawab
tantangan berikut ini agar tidak bernasib sama dengan DP3. Pertama,
impersonalitas, yaitu tidak memandang siapa yang bekerja melainkan apa yang sudah dikerjakannya. Saat ini, DP3 sangat kental
nuansa “kemanusiaannya”. Kemanusiaan sering menjadi pertimbangan utama,
melebihi penegakan disiplin. Hal ini akan berakibat fatal bagi kualitas
birokrasi. Mengapa ? Pelanggaran kecil yang dibiarkan akan terus tumbuh menjadi
pelanggaran besar.
Kedua,
tidak adanya sanksi yang tegas terhadap terjadinya pelanggaran dispilin.
Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS memang telah mengatur bahwa pemberhentian dengan hormat maupun tidak dengan hormat bisa
dilakukan jika seorang PNS tidak masuk selama 46 hari kerja atau lebih. Selain itu, keterlambatan masuk kerja dan/atau pulang cepat dihitung
secara kumulatif dan dikonversi 7 ½ (tujuh setengah) jam sama dengan 1 (satu)
hari tidak masuk kerja. Peraturan ini
sampai hari ini masih menjadi macan kertas!
Ketiga,
dominasi budaya formalitas. Budaya kerja birokrasi identik dengan gaya
formalitas, sekedar menggugurkan kewajiban. Belum menyentuh aspek aplikasi dan
kreasi kerja. Banyak para PNS yang hanya
duduk manis menjadi penonton saja melihat rekan kerjanya yang sedang
bekerja keras. Ironisnya, yang berperilaku seperti ini ada yang dari kalangan pejabat struktural
yang meskipun sering dimutasi berulangkali tetap saja sulit mendapatkan
kompetensi.
*Romi Febriyanto Saputro, S.IP ialah Kasi Pembinaan, Penelitian dan
Pengembangan Perpustakaan (Binalitbang) di Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten
Sragen.
0 Response to "Selamat Tinggal DP-3 !"
Posting Komentar