Belajar Falsafah Hidup dari #BatikIndonesia Untuk Dunia !


Oleh : Romi Febriyanto Saputro

 Presiden Joko Widodo disambut CEO Google Pichai Sundarajan (kanan) saat berkunjung ke Googleplex di Silicon Valley, California, Amerika Serikat, 17 Feb. 2016. (KBRI Washington)
 Sumber gambar : beritasatu.com


Menurut situs resmi Kementerian Perindustrian RI, nilai ekspor batik Indonesia sepanjang tahun 2015 lalu telah menembus angka 3,1 miliar dollar AS atau mencapai hampir Rp 41 triliun. Angka ini merupakan kenaikan 6,3 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Adapun pasar ekspor utama batik Indonesia adalah Jepang, Amerika Serikat, Eropa dan terus meluas. Menteri Perindustrian (Menperin) Saleh Husin mengatakan, pertumbuhan itu tidak terlepas dari adanya pengakuan UNESCO yang mengukuhkan batik sebagai Intangible Cultural Heritage of Humanity asal Indonesia, pada 2 Oktober 2009 lalu.

Pertumbuhan batik juga ditopang antusiasme masyarakat untuk menggunakan batik, baik dari pegawai pemerintahan, BUMN ataupun swasta serta masyarakat secara luas dari berbagai kalangan dan usia, sehingga meningkatkan permintaan produk batik yang mendorong tumbuhnya industri batik nasional. Namun demikian, Menperin mengingatkan saat ini yang perlu diwaspadai adalah persaingan dengan Malaysia, China dan Singapura yang juga telah memproduksi batik.
Batik adalah budaya asli Indonesia. Asti Musman dan Ambar B Arini (2011) mengungkapkan bahwa agar bisa dimengerti, kebudayaan harus diwujudkan dalam bentuk-bentuk indrawi, difungsikan, dan dimaknai secara spiritual. Makna budaya dapat membuka suatu cakrawala bila manusia mampu menempatkan diri (grewes, Jawa). Salah satu wujud kebudayaan itu adalah batik. Batik di Indonesia merupakan suatu keseluruhan teknik, teknologi, serta pengembangan motif dan budaya yang terkait, yang oleh UNESCO ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Non-Bendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) sejak  2 Oktober 2009. Sejak itulah, tanggal 2 Oktober diperingati sebagai Hari Batik di tanah air.
            Berdasarkan etimologi dan terminologinya, batik merupakan rangkaian kata mbat dan tik.  Mbat dalam bahasa Jawa diartikan sebagai ngembat atau berarti melempar berkali-kali. Sedangkan tik berasal dari kata titik. Jadi, membatik berarti melempar titik-titik berkali-kali pada kain. Sehingga akhirnya bentuk-bentuk titik tersebut menjadi garis. Menurut seni rupa, garis adalah kumpulan titik-titik. Selain itu, batik juga berasal dari kata mbat yang merupakan kependekan dari kata membuat, sedangkan tik berarti titik.
                                                  Proses pembuatan batik dengan canting
                                                  Sumber gambar : blog.qlapa.com

            Pelukis batik, Tulus Warsito, mengungkapkan setidaknya ada dua pengertian batik. Pertama, batik merupakan teknik tutup-celup dalam pembentukan gambar kain, menggunakan lilin sebagai perintang dan zat pewarna bersuhu dingin  sebagai bahan pewarna desain pada katun. Kedua, batik adalah sekumpulan desain yang sering digunakan  dalam pembatikan pada pengertian pertama, yang kemudian berkembang menjadi ciri khas desain tersendiri walaupun   desain tersebut tidak lagi dibuat di atas katun dan tidak lagi menggunakan lilin.
            Menurut Prof. Dr R.M Sutjipto Wirjosaputra sebagaimana dikutip Adi Kusrianto (2013),  sebelum masuknya kebudayaan bangsa India yang dibawa pedagang dari Gujarat  ke pulau Jawa, berbagai daerah Nusantara ini telah mengenal teknik membuat “kain batik”. Beberapa literatur yang ditulis  oleh para budayawan mengistilahkan periode ini sebagai “batik primitif”.  Nenek moyang pada masa itu membuat hiasan pada kain dengan teknik perintang warna dengan menggunakan bahan-bahan yang dikenal pada zamannya.
            Banyak kain yang diproses menggunakan teknik perintang warna di Nusantara. Misalnya, di Sumatera Selatan, di zaman Sriwijaya, di Banten, pada zaman Tarumanegara. Mereka membuat pola ragam hias batik menggunakan pasta yang terbuat dari tepung ketan maupun sejenis getah yang digambarkan di atas sehelai kain menggunakan kuas dari stik bambu. Sebagai pewarna merah mereka menggunakan akar pohon mengkudu yang dikuwaskan ke permukaan kain yang tidak tertutup oleh pasta ketan.
            Sementara  penggunaan  malam baru dikenal di Nusantara sekitar abad ke – 10 dengan ditemukannya malam.  Penggunaan pasta ketan dan getah digantikan dengan malam yang lebih tahan air. Namun, penggunaannya masih menggunakan kuas dari bambu. Sementara penggunaan canting untuk menggoreskan cairan lilin baru dikenal di Pulau Jawa, tepatnya di Kediri, Jawa Timur, pada abad ke – 12.
            Hal ini dikemukakan oleh arkeolog Belanda G.P Rouffaer, yang juga melaporkan bahwa pola gringsing sudah ada pada abad ke 12 di Kediri. Ia menyimpulkan bahwa pola seperti ini hanya bisa dibentuk dengan menggunakan alat canting yang kita kenal sekarang. Sehingga ia berpendapat bahwa canting ditemukan di Jawa pada masa sekitar itu. Istilah “batik” atau “hambatik” baru digunakan dengan jelas pada Babad Sengkala yang ditulis pada tahun 1663 (abad ke 17 ) dan juga pada Hikayat Panji Jaya Lengkara yang ditulis pada tahun 1770 (Anshori, Kusrianto, 2011).
                                                      Sumber gambar : tandapagar.com

            Batik dalam masyarakat Jawa memang tidak terlepas dari ajaran filsafat Jawa yang secara tersirat menjelaskan hubungan mikrokosmos, metakosmos, dan makrokosmos. Pandangan tentang makrokosmos mendudukkan manusia sebagai bagian dari alam semesta. Manusia harus menyadari tempat dan kedudukannya dalam jagad raya ini. Metakosmos yang biasa disebut “mandala” adalah konsep yang mengacu pada dunia perantara antara manusia dan pencipta semesta (Tuhan). Sementara itu, mikrokosmos adalah dunia batin, dunia dalam diri manusia. Motif-motif batik klasik mengandung beberapa arti bagi orang Jawa. Motif pada batik harus mampu memberikan keindahan jiwa. Susunan ornamen dan tata warnanya harus mampu memberikan gambaran yang utuh tentang kehidupan.
            Selain proses pembuatannya yang runut, batik juga mengandung filosofi dalam motifnya. Menurut Wiyoso Yudoseputro, ornament yang sering digunakan di dalam batik mempunyai lambang tertentu. Meru melambangkan tanah, bumi atau gunung. Lidah api melambangkan kekuatan. Baito (perahu) melambangkan air dan kehidupan di air. Burung melambangkan alam atas atau udara. Pohon melambangkan alam tengah. Kupu-kupu melambangkan alam atas. Pusaka melambangkan kegembiraan atau ketenangan. Garuda melambangkan  matahari atau pusat kekuatan.
            Sri Sultan Hamengku Buwana X menyebutkan bahwa sejak lahir menjalani hidup di dunia hingga meninggal diselimuti dengan kain batik. Batik sangat dekat dengan kehidupan khususnya dalam lingkungan keluarga. Sri Sultan juga menyebutkan bahwa seni batik bukan sekedar untuk melatih ketrampilan melukis dan sungging, tetapi sesungguhnya pendidikan etika dan estetika bagi wanita zaman dahulu. Seni batik menjadi sangat penting dalam kehidupan karena kain batik telah terjalin erat ke dalam lingkaran hidup masyarakat.
            Selain itu batik juga punya makna dalam menandai peristiwa penting dalam kehidupan budaya Jawa yang sangat menjunjung tinggi dan menghargai nilai-nilai etis dan estetis dalam berpakaian. Pepatah Jawa mengatakan “Ajining Diri Saka Lati Ajining Raga Saka Busana” . Kehormatan diri terletak pada ucapan, kehormatan raga terletak pada pakaian.
            Sebagai busana, kain batik digunakan sebagai jarit, sarung, kemben (penutup dada). Sebagai busana tambahan batik digunakan sebagai selendang pundak, selendang gendongan, serta iket atau udheng (ikat kepala). Selain itu, ada kain batik yang digunakan sebagai busana upacara baik di keratin maupun di luar keraton.
Alat peraga
            Budaya Jawa terkenal memiliki banyak upacara adat. Batik dalam berbagai upacara adat merupakan salah satu alat peraga untuk menjelaskan berbagai makna kehidupan.  Mitoni, salah satu tradisi untuk mendoakan kelahiran bayi menggunakan tujuh motif batik sebagai alat peraga untuk menerangkan makna hidup.
                                                                        Motif Sidomulyo

Sumber gambar : p4tksb-jogja.com
            Pertama, motif sidomulyo. Melambangkan kemuliaan dan kemakmuran. Ini mengajarkan kepada kita bahwa untuk mencapai kemakmuran perlu diawali dulu dengan kemuliaan. Hidup mulia akan mendapatkan bonus dari Tuhan Yang Maha Esa berupa kemakmuran untuk negara dan kesejahteraan untuk rakyat.
            Kedua, motif sidoluhur. Mengajak manusia untuk menjaga keluhuran budi pekerti. Budi pekerti harus dibiasakan bahkan sejak dalam kandungan pun orang tua  sudah mendoakan agar sang bayi ketika menghirup udara dunia  pertama  kali sampai akhir nanti tetap menjunjung tinggi keluhuran budi pekerti.
            Motif sidoluhur diciptakan Ki Ageng Henis, kakak Panembahan Senapati pendiri Kerajaan Mataram Islam, serta cucu dari Ki Ageng Selo. Konon motif ini dibuat khusus untuk anak keturunannya. Harapannya, agar si pemakai selalu ingat untuk berhati dan berpikir luhur sehingga dapat berguna untuk masyarakat.
            Ketiga, motif sidoasih. Menyeru manusia untuk  hidup dengan mengusung bendera welas asih. Mengasihi sesama manusia sebagai bagian dari ibadah kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Menjauhi sifat dengki yang menjadi sumber kebencian dan amarah kepada sesame manusia. Ironisnya, saat ini komunikasi yang ada di media social sering didominasi oleh rasa dengki dan benci karena berbeda bendera partai, bendera idola, bendera calon kepala daerah dan bendera lain yang menjadi sumber permusuhan.
            Keempat, motif sidomukti. Melambangkan  kebahagiaan. Mengandung harapan besar bagi sang jabang bayi agar tetap menempuh jalur kebahagiaan hakiki bukan kebahagiaan semu yang selalu menggoda untuk menghalalkan segala cara. Kebahagiaan bukan bersumber pada kemewahan dunia melainkan bersumber pada pengabdian secara total kepada Pencipta Alam Semesta.Sidomukti memiliki filosofi lebih dalam, bukan hanya harapan-harapan agar mukti, mulyo, dan sebagainya tetapi juga mengungkapkan keseimbangan atau harmoni..
            Kelima, motif wahyu tumurun. Merupakan lambang spiritualitas  manusia untuk selalu mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa agar memperoleh petunjuk dalam mengarungi kehidupan dunia untuk meraih kebahagiaan negeri akhirat. Tanpa petunjuk Tuhan manusia tak akan selamat dalam mengatur kehidupan di muka bumi.
                                                                    Motif Parangkusumo
 Sumber gambar : kesolo.com
Keenam,  motif parangkusumo. Terkandung suatu makna suatu kehidupan harus dilandasi dengan perjuangan dan usaha dalam mencapai keharuman lahir dan batin. Hal ini bisa disamakan dengan harumnya suatu bunga (kusuma). Dalam falsafah Jawa suatu kehidupan dalam masyarakat yang paling utama adalah keharuman pribadinya, tanpa meninggalkan norma dan nilai yang berlaku. Suatu hal yang mudah diucapkan tetapi butuh kerja keras untuk meraihnya.
Ketujuh, semen rama. Merupakan harapan agar bayi yang lahir tumbuh dalam pelukan keluarga yang tenteram, saling mengasihi dan menyayangi. Halangan dan rintangan tdak menjadi penghalang agar biduk keluarga ini tetap berlayar mengarungi samudera kebahagiaan. Ayah dan ibu tetap bersatu untuk mendidik putra-putrinya menjadi pejuang negeri yang akan membawa kemuliaan dan kemakmuran..
Motif semen melambangkan kekuatan, sumber dari segala keberadaan dan pusat kekuasaan. Semen berasal dari kata “semi” yang artinya tumbuh dan berkembang sebagai bagian dari hidup dan gerak. Motif semen rama dibuat pada masa pemerintahan Paku Buwana IV (1788 – 1829 M). Motif ini memberikan pelajaran kepada putranya yang sudah diangkat sebagai Putra Mahkota calon penggantinya.  Batik yang bercorak ini mendapat inspirasi dari nasehat Ramawijaya kepada Gunawan Wibisana saat akan dilantik sebagai Raja Alengka menggantikan Raja Rahwana atau Dasamuka. Nasehat ini terkenal dengan nama Hastha Brata (delapan pesan)  yang sangat cocok di baca oleh calon pemimpin maupun yang sudah menjadi pemimpin di planet bumi ini.
1.    Indrabrata. Dilambangkan dengan bentuk tumbuhan atau hayat, maknanya adalah ajaran tentang darma untuk memberikan kemakmuran dan melindungi bumi.
2.    Yamabrata. Dilambangkan dalam bentuk gunung atau awan atau sesuatu yang tinggi sebagai ajaran untuk bersifat adil kepada sesama.
3.    Suryabrata. Dilambangkan bentuk garuda sebagai ajaran keteguhan hati dan tidak setengah-setengah dalam mengambil keputusan.
4.    Sasibrata. Dilambangkan dalam bentuk bintang sebagai ajaran untuk memberikan penerangan bagi mereka yang sedang berada dalam kegelapan.
5.    Bayubrata. Dilambangkan dalam bentuk binatang terbang atau burung sebagai ajaran mengenai keluhuran atau kedudukan tinggi yang tidak menonjolkan kekuasaan.
6.    Danababrata. Dilambangkan dalam bentuk gambar pusaka dengan makna memberikan penghargaan dan anugerah kepada rakyat.
7.    Barunabrata. Dilambangkan dalam bentuk naga atau yang berhubungan dengan air sebagai ajaran welas asih atau mudah memaafkan kesalahan.
8.    Agnibrata. Dilambangkan dengan bentuk lidah api sebagai makna kekuatan untuk menumpas angkara murka dan melindungi yang lemah.


                                               Motif Megamendung
Falsafah hidup yang terkandung dalam motif batik sangat ditentukan oleh asal daerahnya. Batik motif megamendung merupakan batik yang paling terkenal di Cirebon. Abdul Aziz Sa’du (2013) menuliskan bahwa bentuk megamendung bisa dilihat pada garis lengkung yang beraturan secara teratur dari bentuk garis lengkung yang paling dalam (mengecil), kemudian melebar keluar (membesar), menunjukkan gerak yang teratur harmonis. Garis lengkung yang beraturan ini membawa pesan moral dalam kehidupan manusia yang selalu berubah (naik dan turun), kemudian berkembang keluar untuk mencari jati diri (belajar menjalani kehidupan agama), dan pada akhirnya membawa dirinya memasuki dunia baru menuju kembali ke dalam penyatuan diri setelah melalui pasang surut yang pada akhirnya kembali ke asalnya.
Falsafah kehidupan dibalik motif batik ini mesti perlu dikampanyekan baik di dalam maupun luar negeri agar batik sebagai warisan budaya asli Indonesia makin mendunia.  Tak hanya memberi manfaat ekonomi melainkan memberikan pelajaran kehidupan kepada dunia.
REFERENSI
Abdul Aziz Sa’du (2013). Buku Praktis Mengenal & Membuat Batik. Yogyakarta : Pustaka Santri.
Adi Kusrianto, 2013.  Batik, Filosofi, Motif, dan Kegunaan. Yogyakarta : Andi.
Asti Musman dan Ambar B Arini, 2011.  Batik Warisan Adiluhung Nusantara. Jakarta : G – Media.


Tulisan ini diikutsertakan dalam Kompetisi Blog JIBB Jogja 2016

Related Posts:

0 Response to "Belajar Falsafah Hidup dari #BatikIndonesia Untuk Dunia !"