Agar Budaya Teknologi Hadir Di Sini !


Peringkat daya saing Indonesia mengalami penurunan. Berdasarkan laporan International Institute for Management Development (IMD) 2016, peringkat daya saing Indonesia turun enam peringkat dari peringkat ke-42 menjadi ke-48 dari 61 negara.  Direktur IMD Competitiveness Center Profesor Arturo Bris mengatakan, Indonesia menjadi salah satu negara di Asia yang mengalami penurunan signifikan. "Taiwan, Malaysia, Korea Selatan, turun signifikan dari posisi tahun 2015. 
Di level Asia Tenggara, peringkat Indonesia masih berada di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Singapura menempati peringkat empat atau turun satu peringkat, Malaysia turun lima peringkat ke posisi 19, Thailand naik dua peringkat ke posisi 28, sedangkan Filipina turun satu peringkat ke posisi 42.
 Sementara itu berdasarkan Laporan Pembangunan Manusia 2015 Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia berada di peringkat ke-110 dari 188 negara dengan besaran 0,684 atau sama dengan tahun sebelumnya. Posisi Indonesia sama dengan Gabon (salah satu negara di Afrika yang merdeka pada 1960).
Ternyata peringkat daya saing dan indeks pembangunan manusia (IPM)  Indonesia memiliki hubungan yang relevan. Ketika angka IPM rendah, maka daya saing suatu bangsa juga menjadi rendah.  Ini berarti untuk meningkatkan daya saing negeri ini diperlukan dukungan sumber daya manusia yang bermutu..Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan membangun budaya  teknologi  melalui perpustakaan.
Perlu diketahui indeks pembangunan sumber daya manusia itu adalah pengukuran hasil kebijakan pembangunan multisektoral terhadap kualitas hidup manusia, yang dipakai program pembangunan PBB untuk laporan tahunannya. Salah satu komponen penilaian yang mencapai bobot dua per tiga adalah penguasaan pengetahuan dan teknologi yang diukur dengan kemampuan membaca dan menulis fungsional (literasi informasi) yang merupakan wilayah kerja perpustakaan. Hal inilah yang mendasari pemikiranbahwa keberadaan perpustakaan merupakan salah satu pilar untuk membangun budaya ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi.
Menurut Undang-undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang perpustakaan, perpustakaan adalah sistem pengelolaan rekaman gagasan, pemikiran, pengalaman, dan pengetahuan umat manusia. Menyampaikan gagasan, pemikiran, pengalaman, dan pengetahuan umat manusia itu kepada generasi selanjutnya. Perpustakaan merupakan pusat sumber informasi, ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian, dan kebudayaan. Selain itu, perpustakaan sebagai bagian dari masyarakat dunia ikut serta membangun masyarakat informasi berbasis teknologi informasi dan komunikasi sebagaimana dituangkan dalam Deklarasi World Summit of Information Society– WSIS, 12 Desember 2003.
Deklarasi WSIS bertujuan membangun masyarakat informasi yang inklusif, berpusat pada manusia dan berorientasi secara khusus pada pembangunan. Setiap orang dapat mencipta, mengakses, menggunakan, dan berbagi informasi serta pengetahuan hingga memungkinkan setiap individu, komunitas, dan masyarakat luas menggunakan seluruh potensi mereka untuk pembangunan berkelanjutan yang bertujuan pada peningkatan mutu hidup.
Ketua LIPI Iskandar  Zulkarnaen (2015) mengungkapkan bahwa dengan tidak menempatkan penguasaan dan pengembangan iptek sebagai landasan pembangunan maka Vietnam sangat berpeluang menyalip perkembangan Iptek Indonesia dalam waktu dekat. Posisi sekarang yang jelas itu Vietnam. Kalau kita tidak hati-hati sebentar lagi mereka akan berada di depan kita
Selama ini  kita hanya memanfaatkan teknologi dan belum mengembangkan teknologi. Contohnya telepon genggam yang kita pakai kebanyakan bukan buatan Indonesia, televisi yang kita tonton juga bukan buatan Indonesia, mobil juga bukan buatan orang kita. Jadi, menurut dia, belum ada kesadaran untuk bagaimana memenuhi kebutuhan sendiri dengan penguasaan dan pengembangan teknologi inovasi.
Selama ini entah disengaja atau tidak, pemerintah telah lupa untuk mencetak generasi yang suka membaca. Himbauan untuk gemar membaca sejak zaman orde baru sampai kini terus digaungkan tetapi tidak didukung dengan infrastruktur membaca yang memadai. Perpustakaan yang bersentuhan langsung dengan akar rumput hanya ada di ibukota kabupaten/kota saja. Itupun belum semua mampu memberikan kenyamanan kepada masyarakat untuk membaca.
Kemarin ada survey yang menyatakan negeri ini punya banyak perpustakaan namun minat baca semakin rendah. Bagi saya ini berarti perpustakaan yang ada memang berkualitas rendah karena memang belum ada perhatian dari penguasa yang memimpin negeri ini. Kemungkinan berikutnya, perpustakaan desa dan sekolah yang kebanyakan hanya papan nama saja turut dihitung jumlahnya sehingga mempengaruhi hasil penelitian.
Seandainya infrastruktur perpustakaan memperoleh perlakuan yang sama dengan infrastruktur jalan maka saya yakin 1000 persen rakyat akan datang berbondong-bondong masuk gedung perpustakaan yang representatif yang tersedia di setiap desa, kecamatan, dan kabupaten/kota. Sehingga impian Taufik Ismail dalam puisi “Kupu-kupu Dalam Buku” bisa terwujud.” Di mana-mana buku di baca”  adalah impian beliau. Untuk mewujudkannya tentu diperlukan “di mana-mana ada perpustakaan”.
Keberadaan perpustakaan di mana-mana ini adalah syarat utama untuk menghadirkan budaya teknologi dan inovasi di negeri tercinta ini. Budaya teknologi tak mungkin hadir tanpa didahului dengan budaya membaca. Budaya inovasi tak mungkin datang dengan salam permisi masuk ke pintu negeri ini jika di dalamnya tak ada budaya membaca. Penelitian dan riset tak mungkin ada jika tidak didahului dengan kebiasaan membaca para peneliti dan para periset. Jika ada, maka yang ada adalah penelitian tidak tepat guna, penelitian untuk meraih angka kredit, atau penelitian untuk bergaya saja.
Membudayakan teknologi tanpa membudayakan membaca hanya akan melahirkan budaya mabuk teknologi. Budaya baru yang saat ini melanda negeri kita. Naisbitt  (1999) dalam Yasraf Amir Piliang (2013) menjelaskan enam gejala mabuk teknologi yang menjerat manusia masa kini, yaitu merayakan kecepatan dan kesegeraan (tujuh langkah menjadi miliyuner, dua hari menjadi penulis, dan seterusnya.), memuja teknologi (penyembuhan, keamanan, iman), mengaburkan yang nyata dan tiruan (virtual, cyber, artifisial), menganggap kekerasan sebagai biasa (film, perang, game), mencintai teknologi sebagai mainan (high-tech toy, internet adult game), dan terbiasa dalam ketercerabutan dari realitas (virtual community, telepresence).
Demam game mobile Pokemon Go yang baru sebulan dirilis merupakan peristiwa mabuk teknologi yang melanda segala umur. Para pemabuk game ini rela pergi ke kuburan pada malam hari hanya untuk memburu pokemon hantu. Petugas parkir di kampus pun dibuat heran dengan tingkah laku mahasiswa yang tiba-tiba menghentikan kendaraan gara-gara sang mahasiswa merasakan radar  pokemon di smartphonenya bergetar. Alangkah lucunya negeri ini dan juga dunia ini.
Selain mabuk teknologi ada juga musibah teknologi yang banyak terjadi di negeri ini. Ada yang jatuh ke kawah gunung merapi karena selfie. Ada pula yang jatuh ke jurang gara-gara asyik selfie. Ada lagi yang terseret  ombak laut karena asyik selfie. Musibah lain yang bikin hati sedih banyak anak gadis kita yang tertipu luar dalam oleh teman media social.
Perpustakaan sebagai basis untuk menumbuhkan budaya teknologi bukanlah mimpi di siang bolong. Baitul Hikmah merupakan perpustakaan terbesar yang pernah dimiliki dunia. Dibangun di Baghdad oleh Khalifah Harun al-Rasyid pada tahun 815 M yang kemudian diteruskan oleh puteranya Al- Makmun. Perpustakaan ini tidak hanya mengoleksi buku, tapi juga berfungsi sebagai sekolah teknologi dan inovasi  berskala internasional yang bertujuan untuk membantu perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Jauhar Ridloni Marzuk (2012) menuliskan bahwa Baitul Hikmah menjadi pusat pertemuan ilmu-ilmu pengetahuan dari Barat (Yunani) dan dari Timur (India, Persia dan China) yang selanjutnya dikembangkan oleh para cendekiawan Islam menjadi berbagai ilmu pengetahuan, seperti matematika, filsafat, astronomi, kedokteran, fisika bahkan juga metafisika. Di tempat ini, buku-buku dari Barat dan Timur dikaji, didiskusikan, dikritisi, diterjemakan dan dan kemudian ditulis ulang.
Perkembangan ini memunculkan tokoh-tokoh besar dalam sejarah ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti; Al-Kindi, Al-Khwarizmi, Muhammad Jakfar bin Musa, Ahmad bin Musa, Abu Tammam, Al-Jahiz, Ibnu Malik At-Thai, Abul Faraj, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Biruni, Ibnu Misykawaih, hingga sejarawan besar Ibnu Khaldun sebagian ulama yang belajar di Baitul Hikmah. Merekalah yang berpengaruh besar terhadap perkembagan ilmu pengetahuan dan teknologi selanjutnya, bukan hanya untuk Islam tapi juga untuk umat manusia sedunia.
Di tanah air, Presiden Soekarno, seorang Insinyur Arsitek lulusan Technische Hoogeschool (sekarang menjadi ITB) pernah membuat program “perpustakaan ada di mana-mana”.  . Sejarah Indonesia mencatat bahwa pada kurun waktu 1950 – 1960, Presiden Soekarno mulai memperhatikan dunia perpustakaan. Untuk keperluan rakyat, didirikan tiga jenis perpustakaan umum yang lebih dikenal dengan nama Taman Pustaka Rakyat (TPR). Pembangunan TPR disesuaikan dengan tingkat pemerintahan.
Di setiap desa didirikan Taman Pustaka Rakyat C dengan komposisi koleksi 40 % bacaan untuk siswa setingkat SD dan 60 % untuk siswa setingkat SMP. Untuk tingkat kabupaten, pemerintah membangun Taman Pustaka Rakyat B dengan komposisi koleksi 40 % untuk buku bacaan setingkat SMP dan 60 % untuk bacaan setara siswa SMA. Di ibukota provinsi dibangun Taman Pustaka Rakyat A. Ketika itu, pembangunan TPR sebagai perpustakaan umum berjalan dengan cepat. Semua koleksi dan gaji pegawai TPR ditanggung oleh pemerintah (Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan).
Sukarno sangat sadar bahwa untuk membangun budaya teknologi  diperlukan membaca. Membaca adalah aktivitas merdeka untuk merengkuh energi ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi. Presiden Jokowi diharapkan bisa meniru langkah Presiden Sukarno ini dalam membangun budaya ilmu pengetahuan,, teknologi dan inovasi  di tanah air dengan cara memfungsikan perpustakaan sebagai laboratorium ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi bangsa.
Perpustakaan sekolah yang gedungnya sudah dibangun dengan dana APBN bisa didesain menjadi perpustakaan desa ketika jam pelajaran sudah selesai. Dengan kata lain sudah saatnya perpustakaan sekolah juga berfungsi membangun peradaban literasi untuk lingkungan luar sekolah. Tak hanya melayani peserta didik selama dua kali lima belas menit pada saat jam istirahat. Sehingga peserta didik dan warga sekitar sekolah tetap  punya akses untuk menikmati koleksi perpustakaan sekolah meskipun waktu sekolah telah usai.
Ide di atas tentu perlu dilakukan dengan kerja yang serius bukan sekedar tebar pesona. Pengelola perpustakaan sudah bukan zamannya lagi menjadi pekerjaan sambilan para guru yang sudah kerepotan dengan tugas mengajar. Pengelola perpustakaan sekolah tak bisa pula hanya diserahkan pada guru yang kekurangan jam mengajar untuk memperoleh sertifikasi.
Perlu revolusi mental untuk mengatakan bahwa untuk mengelola perpustakaan sekolah butuh pustakawan PNS bukan sekedar tenaga jadi-jadian. Maaf Pak Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, negeri ini bukan hanya kekurangan tenaga kesehatan dan guru tapi juga kekurangan pustakawan untuk membangun peradaban bangsa yang berbasis ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi.
Maaf pula Pak Presiden, negeri ini tak hanya butuh infrastruktur jalan untuk menghubungkan daerah terdalam dan terluar namun juga butuh infrastruktur membaca yang memadai untuk meningkatkan daya saing bangsa  penghuni negeri zamrud khatulistiwa ini.
Perpustakaan perguruan tinggi pun harus mulai membuka diri untuk melayani masyarakat umum. Pak Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi bisa melakukan revolusi mental perpustakaan perguruan tinggi yang selama ini hanya melayani masyarakat kampus agar membuka diri melayani masyarakat luar kampus. Perpustakaan Perguruan Tinggi merupakan ruang pameran ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi dari dosen dan mahasiswa yang seharusnya dengan mudah dan meriah bisa langsung dinikmati oleh masyarakat.

Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah mengingatkan agar hasil-hasil riset dapat langsung dimanfaatkan masyarakat. Hasil riset jangan sulit ditemukan apabila masyarakat membutuhkannya. Awal tahun ini  Indonesia dihebohkan dengan pemberitaan di media massa terkait temuan robot lengan karya I Wayan Sutawan alias Tawan dari Bali. Seiring mencuatnya pemberitaan tersebut, teknologi Electro Encephalo Graphy (EEG) pun kembali terangkat ke publik, walaupun teknologi ini terbilang telah lama muncul.
 Fenomena ini merupakan bukti bahwa ada kesenjangan antara teknologi dengan masyarakat. Keberadaan perpustakaan adalah sebagai jembatan untuk menghubungkan teknologi dengan masyarakat. Sehingga setiap ada temuan baru dari riset teknologi segera diketahui oleh masyarakat sekaligus sebagai referensi untuk melahirkan inovasi baru.









Peringkat daya saing Indonesia mengalami penurunan. Berdasarkan laporan International Institute for Management Development (IMD) 2016, peringkat daya saing Indonesia turun enam peringkat dari peringkat ke-42 menjadi ke-48 dari 61 negara. Direktur IMD Competitiveness Center Profesor Arturo Bris mengatakan, Indonesia menjadi salah satu negara di Asia yang mengalami penurunan signifikan. "Taiwan, Malaysia, Korea Selatan, turun signifikan dari posisi tahun 2015. Di level Asia Tenggara, peringkat Indonesia masih berada di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Singapura menempati peringkat empat atau turun satu peringkat, Malaysia turun lima peringkat ke posisi 19, Thailand naik dua peringkat ke posisi 28, sedangkan Filipina turun satu peringkat ke posisi 42. Sementara itu berdasarkan Laporan Pembangunan Manusia 2015 Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia berada di peringkat ke-110 dari 188 negara dengan besaran 0,684 atau sama dengan tahun sebelumnya. Posisi Indonesia sama dengan Gabon (salah satu negara di Afrika yang merdeka pada 1960). Ternyata peringkat daya saing dan indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia memiliki hubungan yang relevan. Ketika angka IPM rendah, maka daya saing suatu bangsa juga menjadi rendah. Ini berarti untuk meningkatkan daya saing negeri ini diperlukan dukungan sumber daya manusia yang bermutu..Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan membangun budaya teknologi melalui perpustakaan. Perlu diketahui indeks pembangunan sumber daya manusia itu adalah pengukuran hasil kebijakan pembangunan multisektoral terhadap kualitas hidup manusia, yang dipakai program pembangunan PBB untuk laporan tahunannya. Salah satu komponen penilaian yang mencapai bobot dua per tiga adalah penguasaan pengetahuan dan teknologi yang diukur dengan kemampuan membaca dan menulis fungsional (literasi informasi) yang merupakan wilayah kerja perpustakaan. Hal inilah yang mendasari pemikiranbahwa keberadaan perpustakaan merupakan salah satu pilar untuk membangun budaya ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi. Menurut Undang-undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang perpustakaan, perpustakaan adalah sistem pengelolaan rekaman gagasan, pemikiran, pengalaman, dan pengetahuan umat manusia. Menyampaikan gagasan, pemikiran, pengalaman, dan pengetahuan umat manusia itu kepada generasi selanjutnya. Perpustakaan merupakan pusat sumber informasi, ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian, dan kebudayaan. Selain itu, perpustakaan sebagai bagian dari masyarakat dunia ikut serta membangun masyarakat informasi berbasis teknologi informasi dan komunikasi sebagaimana dituangkan dalam Deklarasi World Summit ofInformation Society– WSIS, 12 Desember 2003. Deklarasi WSIS bertujuan membangun masyarakat informasi yang inklusif, berpusat pada manusia dan berorientasi secara khusus pada pembangunan. Setiap orang dapat mencipta, mengakses, menggunakan, dan berbagi informasi serta pengetahuan hingga memungkinkan setiap individu, komunitas, dan masyarakat luas menggunakan seluruh potensi mereka untuk pembangunan berkelanjutan yang bertujuan pada peningkatan mutu hidup. Ketua LIPI Iskandar Zulkarnaen (2015) mengungkapkan bahwa dengan tidak menempatkan penguasaan dan pengembangan iptek sebagai landasan pembangunan maka Vietnam sangat berpeluang menyalip perkembangan Iptek Indonesia dalam waktu dekat. Posisi sekarang yang jelas itu Vietnam. Kalau kita tidak hati-hati sebentar lagi mereka akan berada di depan kita Selama ini kita hanya memanfaatkan teknologi dan belum mengembangkan teknologi. Contohnya telepon genggam yang kita pakai kebanyakan bukan buatan Indonesia, televisi yang kita tonton juga bukan buatan Indonesia, mobil juga bukan buatan orang kita. Jadi, menurut dia, belum ada kesadaran untuk bagaimana memenuhi kebutuhan sendiri dengan penguasaan dan pengembangan teknologi inovasi. Selama ini entah disengaja atau tidak, pemerintah telah lupa untuk mencetak generasi yang suka membaca. Himbauan untuk gemar membaca sejak zaman orde baru sampai kini terus digaungkan tetapi tidak didukung dengan infrastruktur membaca yang memadai. Perpustakaan yang bersentuhan langsung dengan akar rumput hanya ada di ibukota kabupaten/kota saja. Itupun belum semua mampu memberikan kenyamanan kepada masyarakat untuk membaca. Kemarin ada survey yang menyatakan negeri ini punya banyak perpustakaan namun minat baca semakin rendah. Bagi saya ini berarti perpustakaan yang ada memang berkualitas rendah karena memang belum ada perhatian dari penguasa yang memimpin negeri ini. Kemungkinan berikutnya, perpustakaan desa dan sekolah yang kebanyakan hanya papan nama saja turut dihitung jumlahnya sehingga mempengaruhi hasil penelitian. Seandainya infrastruktur perpustakaan memperoleh perlakuan yang sama dengan infrastruktur jalan maka saya yakin 1000 persen rakyat akan datang berbondong-bondong masuk gedung perpustakaan yang representatif yang tersedia di setiap desa, kecamatan, dan kabupaten/kota. Sehingga impian Taufik Ismail dalam puisi “Kupu-kupu Dalam Buku” bisa terwujud.” Di mana-mana buku di baca” adalah impian beliau. Untuk mewujudkannya tentu diperlukan “di mana-mana ada perpustakaan”. Keberadaan perpustakaan di mana-mana ini adalah syarat utama untuk menghadirkan budaya teknologi dan inovasi di negeri tercinta ini. Budaya teknologi tak mungkin hadir tanpa didahului dengan budaya membaca. Budaya inovasi tak mungkin datang dengan salam permisi masuk ke pintu negeri ini jika di dalamnya tak ada budaya membaca. Penelitian dan riset tak mungkin ada jika tidak didahului dengan kebiasaan membaca para peneliti dan para periset. Jika ada, maka yang ada adalah penelitian tidak tepat guna, penelitian untuk meraih angka kredit, atau penelitian untuk bergaya saja. Membudayakan teknologi tanpa membudayakan membaca hanya akan melahirkan budaya mabuk teknologi. Budaya baru yang saat ini melanda negeri kita. Naisbitt (1999) dalam Yasraf Amir Piliang (2013) menjelaskan enam gejala mabuk teknologi yang menjerat manusia masa kini, yaitu merayakan kecepatan dan kesegeraan (tujuh langkah menjadi miliyuner, dua hari menjadi penulis, dan seterusnya.), memuja teknologi (penyembuhan, keamanan, iman), mengaburkan yang nyata dan tiruan (virtual, cyber, artifisial), menganggap kekerasan sebagai biasa (film, perang, game), mencintai teknologi sebagai mainan (high-tech toy, internet adult game),dan terbiasa dalam ketercerabutan dari realitas (virtual community, telepresence). Demam game mobile Pokemon Go yang baru sebulan dirilis merupakan peristiwa mabuk teknologi yang melanda segala umur. Para pemabuk game ini rela pergi ke kuburan pada malam hari hanya untuk memburu pokemon hantu. Petugas parkir di kampus pun dibuat heran dengan tingkah laku mahasiswa yang tiba-tiba menghentikan kendaraan gara-gara sang mahasiswa merasakan radar pokemon di smartphonenya bergetar. Alangkah lucunya negeri ini dan juga dunia ini. Selain mabuk teknologi ada juga musibah teknologi yang banyak terjadi di negeri ini. Ada yang jatuh ke kawah gunung merapi karena selfie.Ada pula yang jatuh ke jurang gara-gara asyik selfie. Ada lagi yang terseret ombak laut karena asyik selfie. Musibah lain yang bikin hati sedih banyak anak gadis kita yang tertipu luar dalam oleh teman media social. Perpustakaan sebagai basis untuk menumbuhkan budaya teknologi bukanlah mimpi di siang bolong. Baitul Hikmah merupakan perpustakaan terbesar yang pernah dimiliki dunia. Dibangun di Baghdad oleh Khalifah Harun al-Rasyid pada tahun 815 M yang kemudian diteruskan oleh puteranya Al- Makmun. Perpustakaan ini tidak hanya mengoleksi buku, tapi juga berfungsi sebagai sekolah teknologi dan inovasi berskala internasional yang bertujuan untuk membantu perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jauhar Ridloni Marzuk (2012) menuliskan bahwa Baitul Hikmah menjadi pusat pertemuan ilmu-ilmu pengetahuan dari Barat (Yunani) dan dari Timur (India, Persia dan China) yang selanjutnya dikembangkan oleh para cendekiawan Islam menjadi berbagai ilmu pengetahuan, seperti matematika, filsafat, astronomi, kedokteran, fisika bahkan juga metafisika. Di tempat ini, buku-buku dari Barat dan Timur dikaji, didiskusikan, dikritisi, diterjemakan dan dan kemudian ditulis ulang. Perkembangan ini memunculkan tokoh-tokoh besar dalam sejarah ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti; Al-Kindi, Al-Khwarizmi, Muhammad Jakfar bin Musa, Ahmad bin Musa, Abu Tammam, Al-Jahiz, Ibnu Malik At-Thai, Abul Faraj, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Biruni, Ibnu Misykawaih, hingga sejarawan besar Ibnu Khaldun sebagian ulama yang belajar di Baitul Hikmah. Merekalah yang berpengaruh besar terhadap perkembagan ilmu pengetahuan dan teknologi selanjutnya, bukan hanya untuk Islam tapi juga untuk umat manusia sedunia. Di tanah air, Presiden Soekarno, seorang Insinyur Arsitek lulusan Technische Hoogeschool (sekarang menjadi ITB) pernah membuat program “perpustakaan ada di mana-mana”. . Sejarah Indonesia mencatat bahwa pada kurun waktu 1950 – 1960, Presiden Soekarno mulai memperhatikan dunia perpustakaan. Untuk keperluan rakyat, didirikan tiga jenis perpustakaan umum yang lebih dikenal dengan nama Taman Pustaka Rakyat (TPR). Pembangunan TPR disesuaikan dengan tingkat pemerintahan. Di setiap desa didirikan Taman Pustaka Rakyat C dengan komposisi koleksi 40 % bacaan untuk siswa setingkat SD dan 60 % untuk siswa setingkat SMP. Untuk tingkat kabupaten, pemerintah membangun Taman Pustaka Rakyat B dengan komposisi koleksi 40 % untuk buku bacaan setingkat SMP dan 60 % untuk bacaan setara siswa SMA. Di ibukota provinsi dibangun Taman Pustaka Rakyat A. Ketika itu, pembangunan TPR sebagai perpustakaan umum berjalan dengan cepat. Semua koleksi dan gaji pegawai TPR ditanggung oleh pemerintah (Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan). Sukarno sangat sadar bahwa untuk membangun budaya teknologi diperlukan membaca. Membaca adalah aktivitas merdeka untuk merengkuh energi ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi. Presiden Jokowi diharapkan bisa meniru langkah Presiden Sukarno ini dalam membangun budaya ilmu pengetahuan,, teknologi dan inovasi di tanah air dengan cara memfungsikan perpustakaan sebagai laboratorium ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi bangsa. Perpustakaan sekolah yang gedungnya sudah dibangun dengan dana APBN bisa didesain menjadi perpustakaan desa ketika jam pelajaran sudah selesai. Dengan kata lain sudah saatnya perpustakaan sekolah juga berfungsi membangun peradaban literasi untuk lingkungan luar sekolah. Tak hanya melayani peserta didik selama dua kali lima belas menit pada saat jam istirahat. Sehingga peserta didik dan warga sekitar sekolah tetap punya akses untuk menikmati koleksi perpustakaan sekolah meskipun waktu sekolah telah usai. Ide di atas tentu perlu dilakukan dengan kerja yang serius bukan sekedar tebar pesona. Pengelola perpustakaan sudah bukan zamannya lagi menjadi pekerjaan sambilan para guru yang sudah kerepotan dengan tugas mengajar. Pengelola perpustakaan sekolah tak bisa pula hanya diserahkan pada guru yang kekurangan jam mengajar untuk memperoleh sertifikasi. Perlu revolusi mental untuk mengatakan bahwa untuk mengelola perpustakaan sekolah butuh pustakawan PNS bukan sekedar tenaga jadi-jadian. Maaf Pak Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, negeri ini bukan hanya kekurangan tenaga kesehatan dan guru tapi juga kekurangan pustakawan untuk membangun peradaban bangsa yang berbasis ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi. Maaf pula Pak Presiden, negeri ini tak hanya butuh infrastruktur jalan untuk menghubungkan daerah terdalam dan terluar namun juga butuh infrastruktur membaca yang memadai untuk meningkatkan daya saing bangsa penghuni negeri zamrud khatulistiwa ini. Perpustakaan perguruan tinggi pun harus mulai membuka diri untuk melayani masyarakat umum. Pak Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi bisa melakukan revolusi mental perpustakaan perguruan tinggi yang selama ini hanya melayani masyarakat kampus agar membuka diri melayani masyarakat luar kampus. Perpustakaan Perguruan Tinggi merupakan ruang pameran ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi dari dosen dan mahasiswa yang seharusnya dengan mudah dan meriah bisa langsung dinikmati oleh masyarakat. Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah mengingatkan agar hasil-hasil riset dapat langsung dimanfaatkan masyarakat. Hasil riset jangan sulit ditemukan apabila masyarakat membutuhkannya. Awal tahun ini Indonesia dihebohkan dengan pemberitaan di media massa terkait temuan robot lengan karya I Wayan Sutawan alias Tawan dari Bali. Seiring mencuatnya pemberitaan tersebut, teknologi Electro Encephalo Graphy (EEG) pun kembali terangkat ke publik, walaupun teknologi ini terbilang telah lama muncul. Fenomena ini merupakan bukti bahwa ada kesenjangan antara teknologi dengan masyarakat. Keberadaan perpustakaan adalah sebagai jembatan untuk menghubungkan teknologi dengan masyarakat. Sehingga setiap ada temuan baru dari riset teknologi segera diketahui oleh masyarakat sekaligus sebagai referensi untuk melahirkan inovasi baru.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/romi_febriyanto_saputro/agar-budaya-teknologi-hadir-di-sini_579408dace7e614b068b4568
Peringkat daya saing Indonesia mengalami penurunan. Berdasarkan laporan International Institute for Management Development (IMD) 2016, peringkat daya saing Indonesia turun enam peringkat dari peringkat ke-42 menjadi ke-48 dari 61 negara. Direktur IMD Competitiveness Center Profesor Arturo Bris mengatakan, Indonesia menjadi salah satu negara di Asia yang mengalami penurunan signifikan. "Taiwan, Malaysia, Korea Selatan, turun signifikan dari posisi tahun 2015. Di level Asia Tenggara, peringkat Indonesia masih berada di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Singapura menempati peringkat empat atau turun satu peringkat, Malaysia turun lima peringkat ke posisi 19, Thailand naik dua peringkat ke posisi 28, sedangkan Filipina turun satu peringkat ke posisi 42. Sementara itu berdasarkan Laporan Pembangunan Manusia 2015 Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia berada di peringkat ke-110 dari 188 negara dengan besaran 0,684 atau sama dengan tahun sebelumnya. Posisi Indonesia sama dengan Gabon (salah satu negara di Afrika yang merdeka pada 1960). Ternyata peringkat daya saing dan indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia memiliki hubungan yang relevan. Ketika angka IPM rendah, maka daya saing suatu bangsa juga menjadi rendah. Ini berarti untuk meningkatkan daya saing negeri ini diperlukan dukungan sumber daya manusia yang bermutu..Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan membangun budaya teknologi melalui perpustakaan. Perlu diketahui indeks pembangunan sumber daya manusia itu adalah pengukuran hasil kebijakan pembangunan multisektoral terhadap kualitas hidup manusia, yang dipakai program pembangunan PBB untuk laporan tahunannya. Salah satu komponen penilaian yang mencapai bobot dua per tiga adalah penguasaan pengetahuan dan teknologi yang diukur dengan kemampuan membaca dan menulis fungsional (literasi informasi) yang merupakan wilayah kerja perpustakaan. Hal inilah yang mendasari pemikiranbahwa keberadaan perpustakaan merupakan salah satu pilar untuk membangun budaya ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi. Menurut Undang-undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang perpustakaan, perpustakaan adalah sistem pengelolaan rekaman gagasan, pemikiran, pengalaman, dan pengetahuan umat manusia. Menyampaikan gagasan, pemikiran, pengalaman, dan pengetahuan umat manusia itu kepada generasi selanjutnya. Perpustakaan merupakan pusat sumber informasi, ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian, dan kebudayaan. Selain itu, perpustakaan sebagai bagian dari masyarakat dunia ikut serta membangun masyarakat informasi berbasis teknologi informasi dan komunikasi sebagaimana dituangkan dalam Deklarasi World Summit ofInformation Society– WSIS, 12 Desember 2003. Deklarasi WSIS bertujuan membangun masyarakat informasi yang inklusif, berpusat pada manusia dan berorientasi secara khusus pada pembangunan. Setiap orang dapat mencipta, mengakses, menggunakan, dan berbagi informasi serta pengetahuan hingga memungkinkan setiap individu, komunitas, dan masyarakat luas menggunakan seluruh potensi mereka untuk pembangunan berkelanjutan yang bertujuan pada peningkatan mutu hidup. Ketua LIPI Iskandar Zulkarnaen (2015) mengungkapkan bahwa dengan tidak menempatkan penguasaan dan pengembangan iptek sebagai landasan pembangunan maka Vietnam sangat berpeluang menyalip perkembangan Iptek Indonesia dalam waktu dekat. Posisi sekarang yang jelas itu Vietnam. Kalau kita tidak hati-hati sebentar lagi mereka akan berada di depan kita Selama ini kita hanya memanfaatkan teknologi dan belum mengembangkan teknologi. Contohnya telepon genggam yang kita pakai kebanyakan bukan buatan Indonesia, televisi yang kita tonton juga bukan buatan Indonesia, mobil juga bukan buatan orang kita. Jadi, menurut dia, belum ada kesadaran untuk bagaimana memenuhi kebutuhan sendiri dengan penguasaan dan pengembangan teknologi inovasi. Selama ini entah disengaja atau tidak, pemerintah telah lupa untuk mencetak generasi yang suka membaca. Himbauan untuk gemar membaca sejak zaman orde baru sampai kini terus digaungkan tetapi tidak didukung dengan infrastruktur membaca yang memadai. Perpustakaan yang bersentuhan langsung dengan akar rumput hanya ada di ibukota kabupaten/kota saja. Itupun belum semua mampu memberikan kenyamanan kepada masyarakat untuk membaca. Kemarin ada survey yang menyatakan negeri ini punya banyak perpustakaan namun minat baca semakin rendah. Bagi saya ini berarti perpustakaan yang ada memang berkualitas rendah karena memang belum ada perhatian dari penguasa yang memimpin negeri ini. Kemungkinan berikutnya, perpustakaan desa dan sekolah yang kebanyakan hanya papan nama saja turut dihitung jumlahnya sehingga mempengaruhi hasil penelitian. Seandainya infrastruktur perpustakaan memperoleh perlakuan yang sama dengan infrastruktur jalan maka saya yakin 1000 persen rakyat akan datang berbondong-bondong masuk gedung perpustakaan yang representatif yang tersedia di setiap desa, kecamatan, dan kabupaten/kota. Sehingga impian Taufik Ismail dalam puisi “Kupu-kupu Dalam Buku” bisa terwujud.” Di mana-mana buku di baca” adalah impian beliau. Untuk mewujudkannya tentu diperlukan “di mana-mana ada perpustakaan”. Keberadaan perpustakaan di mana-mana ini adalah syarat utama untuk menghadirkan budaya teknologi dan inovasi di negeri tercinta ini. Budaya teknologi tak mungkin hadir tanpa didahului dengan budaya membaca. Budaya inovasi tak mungkin datang dengan salam permisi masuk ke pintu negeri ini jika di dalamnya tak ada budaya membaca. Penelitian dan riset tak mungkin ada jika tidak didahului dengan kebiasaan membaca para peneliti dan para periset. Jika ada, maka yang ada adalah penelitian tidak tepat guna, penelitian untuk meraih angka kredit, atau penelitian untuk bergaya saja. Membudayakan teknologi tanpa membudayakan membaca hanya akan melahirkan budaya mabuk teknologi. Budaya baru yang saat ini melanda negeri kita. Naisbitt (1999) dalam Yasraf Amir Piliang (2013) menjelaskan enam gejala mabuk teknologi yang menjerat manusia masa kini, yaitu merayakan kecepatan dan kesegeraan (tujuh langkah menjadi miliyuner, dua hari menjadi penulis, dan seterusnya.), memuja teknologi (penyembuhan, keamanan, iman), mengaburkan yang nyata dan tiruan (virtual, cyber, artifisial), menganggap kekerasan sebagai biasa (film, perang, game), mencintai teknologi sebagai mainan (high-tech toy, internet adult game),dan terbiasa dalam ketercerabutan dari realitas (virtual community, telepresence). Demam game mobile Pokemon Go yang baru sebulan dirilis merupakan peristiwa mabuk teknologi yang melanda segala umur. Para pemabuk game ini rela pergi ke kuburan pada malam hari hanya untuk memburu pokemon hantu. Petugas parkir di kampus pun dibuat heran dengan tingkah laku mahasiswa yang tiba-tiba menghentikan kendaraan gara-gara sang mahasiswa merasakan radar pokemon di smartphonenya bergetar. Alangkah lucunya negeri ini dan juga dunia ini. Selain mabuk teknologi ada juga musibah teknologi yang banyak terjadi di negeri ini. Ada yang jatuh ke kawah gunung merapi karena selfie.Ada pula yang jatuh ke jurang gara-gara asyik selfie. Ada lagi yang terseret ombak laut karena asyik selfie. Musibah lain yang bikin hati sedih banyak anak gadis kita yang tertipu luar dalam oleh teman media social. Perpustakaan sebagai basis untuk menumbuhkan budaya teknologi bukanlah mimpi di siang bolong. Baitul Hikmah merupakan perpustakaan terbesar yang pernah dimiliki dunia. Dibangun di Baghdad oleh Khalifah Harun al-Rasyid pada tahun 815 M yang kemudian diteruskan oleh puteranya Al- Makmun. Perpustakaan ini tidak hanya mengoleksi buku, tapi juga berfungsi sebagai sekolah teknologi dan inovasi berskala internasional yang bertujuan untuk membantu perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jauhar Ridloni Marzuk (2012) menuliskan bahwa Baitul Hikmah menjadi pusat pertemuan ilmu-ilmu pengetahuan dari Barat (Yunani) dan dari Timur (India, Persia dan China) yang selanjutnya dikembangkan oleh para cendekiawan Islam menjadi berbagai ilmu pengetahuan, seperti matematika, filsafat, astronomi, kedokteran, fisika bahkan juga metafisika. Di tempat ini, buku-buku dari Barat dan Timur dikaji, didiskusikan, dikritisi, diterjemakan dan dan kemudian ditulis ulang. Perkembangan ini memunculkan tokoh-tokoh besar dalam sejarah ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti; Al-Kindi, Al-Khwarizmi, Muhammad Jakfar bin Musa, Ahmad bin Musa, Abu Tammam, Al-Jahiz, Ibnu Malik At-Thai, Abul Faraj, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Biruni, Ibnu Misykawaih, hingga sejarawan besar Ibnu Khaldun sebagian ulama yang belajar di Baitul Hikmah. Merekalah yang berpengaruh besar terhadap perkembagan ilmu pengetahuan dan teknologi selanjutnya, bukan hanya untuk Islam tapi juga untuk umat manusia sedunia. Di tanah air, Presiden Soekarno, seorang Insinyur Arsitek lulusan Technische Hoogeschool (sekarang menjadi ITB) pernah membuat program “perpustakaan ada di mana-mana”. . Sejarah Indonesia mencatat bahwa pada kurun waktu 1950 – 1960, Presiden Soekarno mulai memperhatikan dunia perpustakaan. Untuk keperluan rakyat, didirikan tiga jenis perpustakaan umum yang lebih dikenal dengan nama Taman Pustaka Rakyat (TPR). Pembangunan TPR disesuaikan dengan tingkat pemerintahan. Di setiap desa didirikan Taman Pustaka Rakyat C dengan komposisi koleksi 40 % bacaan untuk siswa setingkat SD dan 60 % untuk siswa setingkat SMP. Untuk tingkat kabupaten, pemerintah membangun Taman Pustaka Rakyat B dengan komposisi koleksi 40 % untuk buku bacaan setingkat SMP dan 60 % untuk bacaan setara siswa SMA. Di ibukota provinsi dibangun Taman Pustaka Rakyat A. Ketika itu, pembangunan TPR sebagai perpustakaan umum berjalan dengan cepat. Semua koleksi dan gaji pegawai TPR ditanggung oleh pemerintah (Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan). Sukarno sangat sadar bahwa untuk membangun budaya teknologi diperlukan membaca. Membaca adalah aktivitas merdeka untuk merengkuh energi ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi. Presiden Jokowi diharapkan bisa meniru langkah Presiden Sukarno ini dalam membangun budaya ilmu pengetahuan,, teknologi dan inovasi di tanah air dengan cara memfungsikan perpustakaan sebagai laboratorium ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi bangsa. Perpustakaan sekolah yang gedungnya sudah dibangun dengan dana APBN bisa didesain menjadi perpustakaan desa ketika jam pelajaran sudah selesai. Dengan kata lain sudah saatnya perpustakaan sekolah juga berfungsi membangun peradaban literasi untuk lingkungan luar sekolah. Tak hanya melayani peserta didik selama dua kali lima belas menit pada saat jam istirahat. Sehingga peserta didik dan warga sekitar sekolah tetap punya akses untuk menikmati koleksi perpustakaan sekolah meskipun waktu sekolah telah usai. Ide di atas tentu perlu dilakukan dengan kerja yang serius bukan sekedar tebar pesona. Pengelola perpustakaan sudah bukan zamannya lagi menjadi pekerjaan sambilan para guru yang sudah kerepotan dengan tugas mengajar. Pengelola perpustakaan sekolah tak bisa pula hanya diserahkan pada guru yang kekurangan jam mengajar untuk memperoleh sertifikasi. Perlu revolusi mental untuk mengatakan bahwa untuk mengelola perpustakaan sekolah butuh pustakawan PNS bukan sekedar tenaga jadi-jadian. Maaf Pak Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, negeri ini bukan hanya kekurangan tenaga kesehatan dan guru tapi juga kekurangan pustakawan untuk membangun peradaban bangsa yang berbasis ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi. Maaf pula Pak Presiden, negeri ini tak hanya butuh infrastruktur jalan untuk menghubungkan daerah terdalam dan terluar namun juga butuh infrastruktur membaca yang memadai untuk meningkatkan daya saing bangsa penghuni negeri zamrud khatulistiwa ini. Perpustakaan perguruan tinggi pun harus mulai membuka diri untuk melayani masyarakat umum. Pak Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi bisa melakukan revolusi mental perpustakaan perguruan tinggi yang selama ini hanya melayani masyarakat kampus agar membuka diri melayani masyarakat luar kampus. Perpustakaan Perguruan Tinggi merupakan ruang pameran ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi dari dosen dan mahasiswa yang seharusnya dengan mudah dan meriah bisa langsung dinikmati oleh masyarakat. Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah mengingatkan agar hasil-hasil riset dapat langsung dimanfaatkan masyarakat. Hasil riset jangan sulit ditemukan apabila masyarakat membutuhkannya. Awal tahun ini Indonesia dihebohkan dengan pemberitaan di media massa terkait temuan robot lengan karya I Wayan Sutawan alias Tawan dari Bali. Seiring mencuatnya pemberitaan tersebut, teknologi Electro Encephalo Graphy (EEG) pun kembali terangkat ke publik, walaupun teknologi ini terbilang telah lama muncul. Fenomena ini merupakan bukti bahwa ada kesenjangan antara teknologi dengan masyarakat. Keberadaan perpustakaan adalah sebagai jembatan untuk menghubungkan teknologi dengan masyarakat. Sehingga setiap ada temuan baru dari riset teknologi segera diketahui oleh masyarakat sekaligus sebagai referensi untuk melahirkan inovasi baru.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/romi_febriyanto_saputro/agar-budaya-teknologi-hadir-di-sini_579408dace7e614b068b4568

Related Posts:

0 Response to "Agar Budaya Teknologi Hadir Di Sini !"