Membangun Masyarakat Peduli Cuaca
Oleh : Romi Febriyanto
Saputro
Tulisan ini ditetapkan sebagai Juara
1 Lomba Penulisan Artikel di
media massa cetak dan online yang diselenggarakan oleh Badan Meteorologi,
Klimatologi dan Geofisika(BMKG) yang bekerjasama dengan Masyarakat Penulis Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (Mapiptek). Lomba ini diselenggarakan dalam
rangka memperingati HUT BMKG, 27 Juli 2015.
Menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun 2009, penyelenggaraan
meteorologi, klimatologi, dan geofisika dalam rangka menghasilkan data dan
informasi memiliki peran strategis yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan
nilai tambah dari berbagai kegiatan di sektor terkait. Selain itu, dimanfaatkan
juga untuk meningkatkan keselamatan jiwa dan harta serta untuk mengurangi
risiko bencana.
Penyelenggaraan meteorologi, klimatologi, dan geofisika diharapkan
bisa melindungi kepentingan dan potensi nasional dalam rangka peningkatan keamanan
dan ketahanan nasional. Selain itu, juga diharapkan dapat meningkatkan
kemandirian bangsa dalam penguasaan dan penerapan ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang meteorologi, klimatologi, dan geofisika dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Menurut Sekjen WMO Michel Jarraud dalam press
release No.971, sebagaimana
dikutip Majalah Info BMKG Edisi 2/Tahun 2013, selama
30 tahun terakhir 2 juta orang meninggal dan kerugian ekonomi diperkirakan
lebih dari 1,5 triliun dolar AS. Hampir 90 persen dari bencana tersebut, lebih
dari 70 persen dari korban dan hampir 80 persen dari kerugian ekonomi
disebabkan oleh cuaca. Bencana banjir, siklon
tropis dan kekeringan, gelombang dingin dan panas yang mempengaruhi seluruh
dunia merupakan fenomena cuaca.
Ironisnya, angka melek informasi cuaca, iklim, dan gempa
bumi di negeri ini terhitung rendah. Berdasarkan
laporan dari Global Security Index tahun 2014, Indonesia menempati urutan ke-13
dalam daftar negara yang memiliki tingkat kesadaran informasi. Indonesia
mendapatkan indeks poin sebesar 0,471 persen. Sementara, di kawasan
negara-negara di Asia Tenggara, Indonesia hanya menduduki peringkat ke-5, di
belakang Malaysia dan Singapura.
Tragedi Air Asia QZ8501 menjadi bukti bahwa maskapai
penerbangan pun masih memiliki kesadaran yang rendah terhadap informasi cuaca.
Tempo.co memberitakan bahwa bukti log
book di Bandara Juanda, Surabaya, menunjukkan bahwa Air Asia
QZ8501 terlambat mengambil data cuaca pada 28 Desember 2014 Petugas Air
Asia mengambil bahan informasi cuaca sekitar satu setengah jam setelah pesawat
tinggal landas pukul 05.20. Padahal data cuaca semestinya sudah berada di
tangan pilot satu jam menjelang keberangkatan.
Dalam dokumen surat yang diterima Tempo dari pejabat
pemerintah, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Andi
Eka Sakya melayangkan surat ihwal perkembangan cuaca saat kejadian.
"Khusus pada hal 7 (tujuh) terindikasi temuan log bookdi Stasiun BMKG
Juanda, Surabaya, ditemukan bahwa Air Asia baru mengambil bahan informasi cuaca
pada jam 07.00 WIB sesudah terjadi lost
contact QZ8501 dan bukan sebelum take off.
Data log
book di Juanda pun menunjukkan bahwa petugas operasional
penerbangan atau flight
operation officer Air Asia baru mengambil data cuaca pada
pukul 07.00. Sedangkan pesawat tipe Airbus 320 itu lepas landas dari Juanda
pada pukul 05.27, dan dinyatakan hilang kontak pada pukul 06.12 WIB. Belakangan
pesawat itu ditemukan di perairan Karimata.
Tragedi Air Asia ini merupakan akibat
dari budaya abai terhadap informasi cuaca. Di negeri ini acara prakiraan cuaca
yang selalu disajikan oleh BMKG belum memperoleh sambutan yang layak dari
masyarakat. Bahkan masyarakat mungkin merasa tidak membutuhkan. Hal ini berbeda
dengan masyarakat Jepang yang sangat menghargai informasi cuaca. Sebelum
bepergian, orang Jepang selalu melihat dulu informasi cuaca yang disebar secara
luas melalui siaran televisi maupun internet.
Dua orang warga Indonesia yang baru
tinggal di Jepang harus menderita malu gara-gara payung. Saat turun hujan hanya
mereka yang berlari-lari diguyur gerimis di tengah khalayak yang membawa
payung. Sebaliknya, ketika mereka membawa payung, tak seorang pun di dalam
kereta api yang mereka tumpangi melakukan hal yang sama. Kisah ini ditulis oleh
pemiliki blog yardapoteker.wordpress.com.
Bagi orang
Jepang, alam bukanlah alasan menghentikan kegiatan. Fenomena alam yang kerap
rutin harus disiasati. Itulah gunanya teknologi. Sebaliknya, bagi orang
Indonesia, alam seolah tak perlu disiasati. Seperti didefinisikan Kroeber dan
Kluckhohn (1952), manusia bisa dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan cara
pandangnya terhadap alam. Pertama, kelompok tradisional yang ditandai sikap
tunduk dan pasrah terhadap alam. Kedua, kelompok transformasi, yaitu yang
berusaha mencari keselarasan dengan alam. Ketiga, manusia modern yang berhasrat
menguasai alam.
Atas dasar tipologi itu,
Koentjaraningrat (1987) memasukkan orang Indonesia dalam kelompok tradisional
dan sebagian kelompok transformasi. Jadi, sekalipun mengantongi telepon genggam
terbaru dengan fasilitas ramalan cuaca, orang Indonesia cenderung pasrah
terhadap alam. Mereka akan menunggu alam bekerja dan malas menyiapkan diri
menghadapinya.
Strategi
Untuk
membangun budaya peduli informasi alam (cuaca, iklim, dan gempa bumi) ada
beberapa strategi yang bisa dilakukan pemerintah. Pertama, membangun
spiritualitas peduli cuaca Dalam Al Quran terdapat kisah inspiratif dalam
menghadapi perubahan iklim yang sangat ekstrim. Tujuh tahun musim hujan dan
tujuh tahun musim kemarau di Mesir pada zaman Nabi Yusuf.
Sejarah
mencatat tujuh tahun pertama adalah era kehidupan yang yang mudah dan makmur.
Sawah dan ladang menghasilkan makanan yang berlimpah. Pendapatan rakyat dan
negara meningkat pesat. Tujuh tahun berikutnya adalah masa yang sangat sulit.
Awan terlihat bergulung-gulung di langit namun tidak menurunkan hujan. Sungai
Nil mongering. Tanah pertanian berubah menjadi kering dan tandus sehingga tak
menghasilkan apa pun.
Tujuh tahun pertama yang penuh
berkah Menteri Ekonomi Yusuf membangun lumbung-lumbung makanan dan
gudang-gudang penyimpanan hasil bumi. Cara penyimpanannya supaya tahan lama dalam Al Quran
dinyatakan gandum yang disimpan diawetkan dengan cara meninggalkan
bulirnya tetap ditangkai.
Hasil riset modern
yang dilakukan oleh Dr. ‘Abd al-Majid Bil’abid dan teman penelitinya dari
Universitas Rabat, Maroko, sebagaimana dikutip Purbayu Budi Santosa (2013)
membenarkan teknik penyimpangan tersebut supaya tahan lama. Hasil
penelitiannya antara gandum yang tetap ditangkai dengan yang terpisah,
meunjukkan hasil yang nyata bahwa gandum yang tetap ditangkainya semuanya
kualitasnya tetap terjaga, sementara bulir yang terpisah dari tangkainya, mulai
mengering dan kehilangan kadar air hingga 20,3 persen dan kadar gulanya juga
hilang sampai 32 persen.
Kisah ini bisa menjadi
inspirasi bagi pemuka agama untuk mengajak umatnya agar lebih peduli dengan
isyarat alam. Peduli informas icuaca, iklim, dan gempa bumi melalui sosialisasi
di masjid, gereja, Vihara, Pura, dan Klenteng.
Kedua, membangun literasi informasi. Konsep
literasi informasi pertama kali diperkenalkan pada tahun 1974 Paul Zurkowski,
president of the US Information Industry Association, dalam proposal yang
diajukan kepada The National Commission on Libraries and Information Science
(NCLIS). Paul Zurkowski merekomendasikan bahwa program nasional dibentuk untuk mencapai literasi
informasi yang universal pada dekade berikutnya. Zurkowsky berpendapat,
“orang-orang yang terlatih dalam penerapan sumber daya informasi disebut litrates information.
Dalam penjelasannya,
Zurkowski menjelaskan bahwa teknik dan keterampilan literasi informasi meliputi
(1) sumber daya informasi yang diterapkan dalam situasi kerja, (2) teknik dan
keterampilan yang dibutuhkan dalam menggunakan alat bantu informasi dan
sumber-sumber primer, serta (3) informasi yang digunakan dalam memecahkan
masalah (Behrens, 1994:310).
Jepang tercatat
memiliki literasi informasi yang cukup tinggi. Di negeri ini budaya membaca dan
belajar sudah menjadi menu harian. Tak perlu heran jika keunggulan ini juga
berbanding lurus dengan respon masyarakat yang cukup tinggi terhadap isyarat
alam. Masyarakat Jepang bisa dikatakan sangat melek informasi cuaca, iklim dan
gempa bumi. Gempa Honshu yang melanda Jepang pada Tahun 2011 tercatat hanya
menimbulkan korban kurang dari 500 jiwa.
Dunia pendidikan dan
perpustakaan merupakan lahan subur bagi pemerintah untuk menumbuhkan budaya
melek informasi cuaca iklim, dan gempa
bumi. Baru-baru ini Mendikbud RI Anies Baswendan
mewajibkan sekolah untuk mengajak siswa membaca buku non pelajaran selama 15
menit sebelum pelajaran dimulai. Buku-buku tentang informasi cuaca dan iklim
bisa menjadi alternatif untuk dibaca agar siswa bisa memahami gejala alam
sedini mungkin.
Internalisasi budaya
literasi ini akan semakin kuat jika sekolah juga menjadi ajang rutin untuk
simulasi tanggap bencana. Mempersiapkan siswa sejak dini agar siap menghadapi
bencana alam. Kesiapan ini sangat penting untuk dimiliki mengingat kita tinggal
di negeri yang rawan bencana alam.
Ketiga,
menyajikan informasi cuaca, iklim, dan gempa bumi dengan cara yang lebih cerdas.
Menurut H.A.R Tilaar (1999), kemampuan informatif
merupakan kemampuan seseorang untuk menganalisa dan mencari manfaat dari
informasi yang diperoleh. Data yang telah diolah berubah menjadi informasi dan
inilah yang mempunyai kegunaan di dalam perkembangan ilmu pengetahuan ataupun
aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam kehidupan manusia.
Saat ini website Badan Metereologi, Klimatologi, dan
Geofisika (BMKG) sudah menyajikan informasi yang cukup lengkap tentang cuaca di
tanah air. Seperti prakiraan cuaca harian, mingguan, informasi
peringatan dini cuaca ekstrim, hujan atau tidak hujan, suhu udara, kelembaban
udara dan angin baik arah maupun kecepatan anginnya.
Tugas BMKG
selanjutnya adalah melakukan edukasi kepada masyarakat agar mau peduli terhadap
informasi cuaca yang sudah dihasilkan oleh masyarakat. BMKG bisa bekerjasama dengan operator seluler
yang ada untuk menyebarluaskan informasi cuaca dari BMKG melalui ponsel secara
gratis.
Berdasarkan data US
Cencus Bureau pada Januari 2014, Indonesia memiliki sekitar 251 juta penduduk.
Jumlah itu kalah dibanding pengguna ponsel, yang berkisar di angka 281 juta. Dengan
kata lain, setiap penduduk Indonesia bisa memiliki lebih dari satu telepon
genggam untuk mengakses dunia maya.
Sebanyak 72 juta pengguna aktif internet, dan 62 juta punya akun Facebook yang aktif.
Sebanyak 72 juta pengguna aktif internet, dan 62 juta punya akun Facebook yang aktif.
Jumlah ponsel yang
melebihi jumlah penduduk merupakan peluang bagi BMKG untuk menyebarkan informasi
cuaca kepada masyarakat. Diminta atau tidak diminta informasi cuaca dari BMKG
akan masuk melalui SMS, WA, BBM atau media sosial sang pemiliki ponsel. Jangan
menunggu masyarakat merasa butuh dengan informasi cuaca, tetapi BMKG bisa lebih
dulu menyebarkan informasi cuaca melalui ponsel.
Gagasan ini akan
mampu mencegah terjadinya bencana akibat kealpaan dalam mengambil informasi
cuaca seperti yang terjadi pada kecelakaan Air Asia. Petugas maskapai
penerbangan bisa mendapat informasi langsung tentang keadaan cuaca melalui
pesan yang dikirim BMKG melalui ponsel.
Tulisan ini sudah dimuat di www.kabarindonesia .com, 6 Agustus 2015
Tulisan ini sudah dimuat di www.kabarindonesia .com, 6 Agustus 2015
0 Response to "Membangun Masyarakat Peduli Cuaca"
Posting Komentar