Menulis Ulang Cerita Rakyat
Oleh : Romi Febriyanto Saputro*
Artikel ini telah dimuat di Harian Solo Pos, 24 Juli 2013
Tanggal 3 Juli 2013 lalu Badan Arsip dan Perpustakaan
Provinsi Jawa Tengah menggelar Lomba Bercerita Siswa SD Tingkat Provinsi Jawa
Tengah. Pemenang lomba ini akan mewakili Provinsi Jawa Tengah di ajang serupa
Tingkat Nasional yang akan digelar di Perpustakaan Nasional RI.
Salah satu tujuan lomba bercerita ini adalah membangun
moralitas dan karakter para pelajar
melalui cerita rakyat yang dapat memberi keteladanan. Penulis yang kebetulan
mengikuti lomba ini dari awal sampai akhir menyimpan sedikit kegalauan. “Adakah
nilai edukatif dalam cerita rakyat yang disajikan oleh para peserta ?”
Para peserta menyajikan cerita rakyat yang sangat kental nuansa mitos dan klenik seperti : Timun Emas dan Rara Jonggrang. Cerita semacam ini sangat lemah aspek
pembentukan karakter pada jiwa anak. Kalaupun ada cenderung dipaksakan ada dan mengada-ada.
Bertentangan dengan logika akal sehat. Bagaimana bisa seorang anak lahir dari dalam timun raksasa.
Sungguh tak adil rasanya, jika Rara Jonggrang yang berusaha melawan kediktatoran
Bandung Bondowoso malah dikutuk menjadi arca candi. Karakter macam apakah yang
akan dibangun dari cerita semacam ini ?
Corak karya sastra suatu bangsa tanpa disadari telah
membentuk karakter bangsa itu. Perang kerajaan Spanyol dan Inggris yang
berakhir di Pantai Gravelines, Perancis, Agustus 1588, dimenangi oleh armada
Inggris. Dalam bukunya, The
Achieving Society (1961), David McClelland menulis, Inggris menang
karena memiliki need for
achievement (kebutuhan meraih prestasi) lebih tinggi daripada armada Spanyol. Salah
satu penentu n-achievement
(n-Ach) adalah corak sastra rakyat.
Saat tingkat perekonomian Spanyol dan Inggris berada di
puncak (tahun 1560-an), corak sastra rakyat Inggris tetap penuh kisah
petualangan dan perjuangan. Namun, sastra rakyat Spanyol bergelimang kisah
kemewahan dan hiburan. McClelland menyimpulkan, kisah perjuangan dan
petualangan lebih mengembangkan tingkat n-Ach rakyat (McClelland, 1961, 1965).
McClelland dengan bantuan beberapa ahli yang
netral, menemukan puisi, drama, pidato penguburan, kisah epik di Inggris
ternyata menunjukkan optimisme yang tinggi, keberanian untuk mengubah nasib,
dan sikap tidak cepat menyerah.
Cerita-cerita seperti
ini dianggap memiliki nilai n-Ach
tinggi. Lalu ia juga menemukan pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi selalu
didahului oleh The Need for Achievement
yang tinggi dalam karya sastra masa itu. Ketika bergerak lebih jauh,
mengumpulkan 1300 dongeng dan cerita anak dari berbagai negara era tahun 1925
dan 1950, ia mendapati cerita atau dongeng yang mengandung nilai n-Ach tinggi selalu diikuti pertumbuhan
ekonomi yang tinggi di negara itu dalam kurun waktu 25 tahun kemudian.
McClelland telah membuktikan bahwa corak sastra
mampu mempengaruhi karakter suatu bangsa. Hal ini berarti corak sastra mampu
mempengaruhi tingkat literasi suatu bangsa. Literasi merupakan suatu tolok ukur
sejauh mana suatu bangsa bias menyerap informasi, mengolah informasi dan
memberdayakan informasi untuk menggapai keberhasilan.
Geoffrey Jukes, penulis The Russo-Japanese War 1904-1905,
mengungkapkan bahwa kunci penentu hasil perang itu bukanlah teknologi, tetapi
tingkat literasi. Jepang yang merupakan representasi Benua Asia ketika itu
secara mengejutkan mampu mengalahkan Rusia (Benua Eropa). Rusia kalah pada pertempuran laut di Selat
Tsushima 27-28 Mei 1905. Hanya 20 persen personel militer Rusia bisa ”membaca
dan menulis”. Akibatnya, banyak yang tidak mampu mengoperasikan secara benar
persenjataan modern (saat itu) dan sistem telegraf nirkabel yang diimpor dari
Jerman. Serangan Rusia sering salah sasaran karena salah membaca peta dan salah
mengoperasikan jaringan komunikasi.
Sebaliknya, hampir semua tentara Jepang tahu ”membaca dan
menulis”. Mereka mahir menggunakan persenjataan militer modern dan memanfaatkan
infrastruktur intelijen militer secara benar. Jepang bahkan sudah memodifikasi
sistem telegraf nirkabel dari Jerman.
Kembali
ke cerita rakyat di tanah air. Dongeng
asli Indonesia ini yang penuh dengan cerita mistis seolah mengajarkan cara
instan untuk menggapai cita-cita. Seharusnya cerita rakyat mengajarkan cara kerja keras, kerja cerdas dan kerja
pantang menyerah. Model cerita semacam ini juga sering ditemui dalam
sinetron-sinetron di layar kaca. Mengajarkan “solusi ajaib” dalam menyelesaikan
masalah.
Bangsa ini perlu banyak belajar dari
Jepang.. Mimpi Jepang untuk merebut Piala Dunia dalam komik Kapten Tsubasa telah memberikan inspirasi dalam dunia nyata.
Kapten Tsubasa telah menjelma menjadi salah satu sosok penting dalam
kebangkitan persepakbolaan negeri itu. Pada 1981, komik tersebut kali pertama
dirilis di Jepang, bercerita tentang seorang anak berpostur pendek yang sangat
gemar bermain sepak bola. Dia selalu menjadi bintang di tim sekolah, mulai di SD Nakatsu, hingga mimpinya merumput
di Eropa terwujud.
Cerita Kapten Tsubasa berhasil menginspirasi generasi muda
Jepang. Tsubasa adalah mimpi publik
Jepang untuk memiliki seorang pemain yang disegani di pentas sepak bola dunia.
Berkat Tsubasa, Sepak bola Jepang terus melakukan inovasi untuk meraih mimpi. Usaha
Jepang membuahkan hasil yang pantas membuat Indonesia iri. Negeri Sakura itu kini tak diragukan lagi merupakan negara
sepak bola terkuat di Asia. Jepang merupakan tim pertama yang memastikan lolos
ke Piala Dunia 2014 selain tuan rumah Brasil.
Cerita rakyat Indonesia harus ditulis ulang dengan karakter
pantang menyerah dan penuh heroisme dalam meraih keberhasilan. Mungkin kisah
“Kancil Nyolong Timun” yang telah menginspirasi para koruptor harus ditulis
ulang dengan “Kancil Menangkap Pencuri Timun”. Penulisan ulang cerita rakyat
ini perlu dilakukan untuk membebaskan
bangsa ini dari karakter pecundang menjadi pemenang. Menjadi bangsa yang
sepenuhnya merdeka lahir-batin, bebas dari segala bentuk penjajahan.
0 Response to "Menulis Ulang Cerita Rakyat"
Posting Komentar