Trias Politika Jadi Trias Kleptomania
-->
Oleh Romi Febriyanto Saputro*
Artikel ini telah dimuat di Harian
Solo Pos, 8 Desember 2011
Trias Politika merupakan ajaran ketatanegaraan yang
membagi dan memisahkan kekuasaan negara menjadi tiga, yaitu kekuasaan membuat
undang-undang (legislatif), kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang
(eksekutif), dan kekuasaan untuk mengadili para pelanggar undang-undang
(yudikatif).
Teori ini pertama kali
dilontarkan oleh Montesque (1689 – 1755) seorang ahli filsafat politik
Perancis dalam bukunya yang sangat terkenal “De’l esprit des lois” yang kurang
lebih berarti Jiwa Perundang-undangan yang terbit pada tahun 1748. Buku ini
terbit sebagai reaksi atas kekuasaan para raja yang bersifat totaliter pada
masa itu. Buku ini pulalah yang dikemudian hari menjadi inspirasi terjadinya
Revolusi Perancis untuk menggulingkan pemerintahan tirani yang dilambangkan
dalam bentuk penjara Bastile.
Hakekat pembagian kekuasaan dalam trias politika
adalah untuk mencegah terjadinya praktik sewenang-wenang dari pemegang
kekuasaan dan mewujudkan kekuasaan yang bersih dari segala macam bentuk
penyimpangan termasuk diantaranya praktik korupsi. Namun bagaimana jadinya jika
kekuasaan yang sudah terbagi tiga tersebut sama-sama tertular penyakit korupsi.
Mungkinkah ketiga lembaga tersebut mampu menjalankan fungsinya dengan baik ?
Hasil Global Corruption Barometer 2005 yang dilakukan
Gallup International menunjukkan kecenderungan korupsi global, termasuk Indonesia .
Survai dilakukan di 69 negara dengan jumlah responden 54.260 orang. Khusus
untuk Indonesia ,
partai politik sebagai lembaga terkorup dengan nilai 4,2 (dari kisaran 1 sampai
5, makin tinggi makin korup). Parlemen menduduki peringkat di bawahnya, yaitu
dengan nilai 4,0. Institusi kepolisian dan bea cukai menduduki peringkat selanjutnya dengan nilai
4,0. Urutan selanjutnya adalah peradilan (3,8), pajak (3,8), registrasi dan
perijinan (3,5), sektor bisnis (3,5), lembaga pendidikan (3,0), peralatan
(3,0), militer (2,9), pelayanan kesehatan (2,7), media (2,4), LSM (2,4) dan
Lembaga Keagamaan (2,1) (Kompas, 26 Desember 2005).
Hasil survey di atas menunjukkan bahwa semua unsur trias politika telah dijangkiti
penyakit kleptomania. Lembaga eksekutif diwakili oleh bea cukai, pajak,
registrasi dan perijinan, peralatan, dan pelayanan kesehatan. Lembaga
Legislatif diwakili oleh partai politik dan parlemen. Lembaga yudikatif
diwakili oleh dunia peradilan. Jadi, trias politika telah mengalami distorsi
dalam praktiknya menjadi trias kleptomania yang tidak mengabdi untuk
kepentingan rakyat melainkan untuk kepentingan diri sendiri.
Menurut Montesque, rakyat akan jatuh ke dalam
kemalangan apabila orang-orang yang mereka percayai – yang selalu ingin
menyembunyikan kebobrokannya – melakukan praktik korupsi. Kepada rakyat mereka
selalu berbicara mengenai kebesaran negara. Ditengah perilaku serakahnya itu,
mereka menghimbau rakyat untuk hidup sederhana.
Prof. Dr. T Jacob melukiskan kondisi ini dalam bukunya
Tragedi Negara Kesatuan Kleptokratis (2004). Kita berangkat pada tahun 1945 dengan maksud membentuk negara kesatuan
yang demokratis. Tetapi dalam perjalanan,
yang selalu ditekankan adalah kesatuan bukan demokrasi. Dengan mengubah
demokrasi menjadi kleptokrasi (pemerintahan penjarah), maka hancurlah kesatuan.
Kleptokrasi adalah pemerintahan inegaliter yang sama sekali tidak adil. Inti
kleptokrasi adalah memindahkan kekayaan nasional dari rakyat kepada lapisan
atas yang berkuasa : politikus dan birokrasi, militer dan polisi, pengusaha dan
pemilik modal.
Tidak Peka
Lembaga eksekutif yang dijangkiti tumor korupsi
menjadikan tubuh birokrasi tidak peka terhadap penderitaan rakyat. Bencana
kelaparan cuma disebut dengan istilah gejala kelaparan dan kegagalan dalam
menyediakan pangan. Begitu pula ketika petani di tanah air tak kunjung membaik
tingkat penghasilannya, pemerintah malah membuka kran impor beras.
Ketika terjadi bencana tanah longsor yang merenggut
ratusan jiwa, eksekutif juga enggan mengakui bahwa bencana alam itu terjadi
akibat penggundulan hutan. Mereke lebih suka menyalahkan alam dengan mengatakan
bahwa bencana alam diakibatkan oleh curah hujan yang sangat tinggi.
Ketidakpekaan juga menular kepada lembaga legislatif.
Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengatakan masalah korupsi yang merugikan
keuangan negara di Indonesia, sudah sampai pada tahap sangat mengkhawatirkan,
karena sudah menyentuh lembaga legislatif atau DPR.
Di zaman Orde Baru, uang negara dikorupsi saat
pekerjaan proyek pembangunan dimulai. Saat ini, uang negara dikorupsi sejak
APBN mulai dibahas di DPR hingga proyek-proyek pemerintah mulai dikerjakan
Lembaga yudikatif
juga telah melukai hati rakyat dengan mengabaikan rasa keadilan
masyarakat. Di ranah yudikatif, ICW
mencatat dalam paro pertama 2009, 70 persen dari 222 terdakwa kasus korupsi
divonis bebas oleh pengadilan, baik di tingkat pertama hingga di Mahkamah
Agung. Tapi, ironisnya, putusan-putusan pengadilan yang menghukum rakyat kecil
semakin meningkat. Tiga butir kakao telah mengantar Mbok Minah ke pengadilan,
sebutir semangka juga menyeret Samsul Hadi ke meja hijau
Trias politika yang dicita-citakan untuk memisahkan sekaligus
membatasi kekuasaan tidak berdaya sama sekali menghadapi belitan korupsi di
negeri ini. Tidaklah mengherankan jika KPK menyebut bahwa Indonesia
berada dalam keadaan darurat korupsi. Akankah konsep trias politika di negeri
ini akan mengalami kemacetan ?.
[1] Romi Febriyanto Saputro, S.IP adalah Alumnus FISIP
UT. Juara Pertama Lomba Penulisan
Artikel Tentang Kepustakwanan Indonesia Tahun 2008 yang diselenggarakan oleh
Perpusnas RI.
0 Response to "Trias Politika Jadi Trias Kleptomania"
Posting Komentar