Belajar Dari Kasus Job Training Sragen
-->
Artikel ini telah dimuat di Harian Solo Pos, 4 Januari 2012
Oleh : Romi Febriyanto Saputro*
Selesai sudah
polemik tentang nasib 1.700 orang tenaga Job Training (JT) di Pemerintah
Kabupaten Sragen. Akhirnya, Pemerintah
Kabupaten Sragen resmi memutuskan untuk tidak memperpanjang masa kontrak tenaga
JT di lingkungan Pemerintah Kabupaten Sragen terhitung mulai tanggal 2 Januari
2012 ini. Argumentasi dari keputusan ini karena keberadaan tenaga JT melanggar
ketentuan pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005, Tentang
Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil.
Dalam
peraturan pemerintah ini disebutkan bahwa sejak ditetapkannya
Peraturan Pemerintah ini, semua Pejabat Pembina
Kepegawaian dan pejabat lain di lingkungan instansi,dilarang mengangkat tenaga
honorer atau yang sejenis, kecuali ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
Tulisan sederhana ini tidak bermaksud
untuk mendiskreditkan pihak-pihak tertentu melainkan sebagai sebuah renungan
agar “kecelakaan sejarah” dalam bidang kepegawaian ini tidak terulang di masa
depan. Bagi penulis yang sudah lama berinteraksi dengan teman-teman JT,
kejadian ini sangat memilukan menembus relung-relung nurani kemanusiaan kita.
Namun peraturan tetaplah peraturan yang
harus tetap ditaati dan dilaksanakan meskipun pahit rasanya. Ini sekaligus
menjadi pelajaran bagi semua pihak agar dalam bekerja untuk bangsa dan negara
senantiasa berpegang dan berjalan sesuai peraturan yang ada. Jangan sekali-kali
dilanggar.
Kondisi
kepegawaian di negeri ini mungkin paling semrawut di dunia. Ada beberapa
kasta dalam bidang kepegawaian. PNS/CPNS, tenaga honorer kategori 1, tenaga
honorer kategori 2, PTT (Pegawai Tidak Tetap), GTT (Guru Tidak Tetap), WB
(Wiyata Bakti), THL (Tenaga Harian Lepas) dan kalau di Sragen ditambah satu lagi
JT (Job Training).
Istilah JT, yang jika diterjemahkan
secara bebas berarti latihan kerja, mungkin hanya ada di Kabupaten Sragen. Dalam
surat keputusan pengangkatan tenaga JT, sudah tertera bahwa tenaga JT tidak
berhak menuntut gaji dan tidak ada jaminan untuk menjadi CPNS. Namun, jumlah JT
yang mencapai angka cukup fantastis 1.700 orang menunjukkan bahwa ada yang
salah dengan pola pikir bangsa ini. Menjadi tenaga JT dipahami sebagai salah
satu proses menuju CPNS. Suatu pekerjaan yang sangat diidolakan oleh semua
lapisan masyarakat.
Pola pengajaran dan pendidikan sejak
dari sekolah dasar hingga menengah atas secara tak sadar juga menyiapkan
peserta didik untuk menjadi PNS. Perguruan tinggi tak jauh berbeda. Mahasiswa
tidak disiapkan untuk menjadi wirausahawan namun disiapkan untuk menjadi
karyawan baik PNS maupun swasta. Niat orang tua menyekolahkan anak di perguruan
tinggi rata-rata agar setelah lulus kuliah dapat menjadi PNS. Jika belum
menjadi PNS, seorang sarjana diaggap belum mencapai kesuksesan.
Paradigma seperti ini sudah saatnya
diubah. Sekolah adalah untuk mendapatkan ilmu dan meningkatkan wawasan
berpikir. Sama sekali tak ada hubungannya dengan keharusan menjadi PNS.
Fakultas Peternakan diharapkan dapat menghasilkan peternak-peternak yang cerdas
dan kreatif daripada mereka yang tidak pernah mengenyam bangku kuliah. Fakultas
Ekonomi mestinya menghasilkan sarjana-sarjana yang siap menjadi pengusaha
maupun wirausahawan bukan sekedar pekerja kantoran.
Selama ini faktanya, sebagian besar
sarjana ekonomi kita tidak menjadi wirausahawan. Sebagian besar sarjana
peternakan kita tidak menjadi peternak berdasi. Sebagian besar sarjana
pertanian kita tidak menjadi petani berdasi. Mungkin selama ini perguruan
tinggi hanya mengajarkan teori beternak, teori ekonomi, teori pertanian dan
teori teknik. Untuk itu, perguruan
tinggi perlu mengajarkan ilmu praktik, ilmu aplikatif, dan ilmu “lapangan”. Karakter
para pengajarnya juga harus mau berubah dari
orang-orang “teoritis” belaka menjadi praktisi.
Fenomena kasus JT juga mencerminkan
adanya analisa kebutuhan pegawai yang masih menyimpan banyak kelemahan. Antara
kebutuhan di lapangan dan formasi kebutuhan pegawai masih ada jurang pemisah
yang cukup lebar. Selain itu, distribusi jumlah PNS masih belum merata di setiap
instansi. Ada instansi yang kelebihan jumlah PNS, namun juga ada yang
kekurangan jumlah PNS.
Di sekolah-sekolah daerah terpencil,
jumlah guru PNS masih minim. Sehingga akhirnya kepala sekolah mengambil
kebijakan sendiri dengan mengangkat “TTS (Tenaga Tanpa Status)”. Lahirnya “TTS”
ini terkadang karena keadaan darurat yaitu rasio yang tidak seimbang antara
jumlah peserta didik dengan guru.
Demikian juga dengan kebutuhan
pustakawan PNS di perpustakaan sekolah yang hingga saat ini masih nihil di Kabupaten
Sragen. Saat ini, terdapat 134 sekolah yang sudah mendapat DAK (Dana Alokasi
Khusus) Perpustakaan dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan berupa gedung
lengkap dengan koleksi bukunya.
Perpustakaan sekolah seperti ini tentu
saja membutuhkan pustakawan PNS untuk mengelola dengan baik sesuai peraturan
yang ada. Hikmah dari kasus ini adalah perlu analisa kebutuhan pegawai sesuai dengan kebutuhan nyata di lapangan
bukan analisa di atas kertas saja. Utamakan pengadaan tenaga teknis fungsional
daripada tenaga administrasi umum.
Selama ini cukup banyak JT yang direkrut
karena memiliki keahlian di bidang teknologi informasi (TI), sementara di sisi
lain, jumlah PNS yang menguasai bidang ini masih minimalis. Ketiadaan JT mesti
harus diikuti dengan peningkatan kualitas keahlian PNS. Kunjungilah
perpustakaan untuk meningkatkan kualitas diri.
Selain itu, etos kerja PNS juga harus
ditingkatkan. Diakui atau tidak, keberadaan JT mempengaruhi etos kerja PNS.
Mereka seperti merasa “keenakan” karena dalam bekerja dibantu para tenaga JT
ini. Ironisnya lagi, kinerja tenaga JT kadang-kadang melebihi kinerja para PNS
yang sudah digaji oleh negara.
Kepada semua tenaga JT, khususnya dari
perpustakaan, saya ucapkan terima kasih telah memberikan bantuan tenaga dan
pikiran untuk kemajuan dunia perpustakaan di
Kabupaten Sragen. Yakinlah bahwa rezeki Allah bertebaran di langit dan
di bumi. Selamat berjuang, Sobat ! Jasamu akan selalu kukenang !
-->
*Romi Febriyanto
Saputro, S.IP adalah Kasi Pembinaan, Penelitian dan Pengembangan Perpustakaan
(Binalitbang) di Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen. Juara Pertama
Lomba Penulisan Artikel Tentang Kepustakwanan Indonesia Tahun 2008 yang
diselenggarakan oleh Perpusnas RI.
0 Response to "Belajar Dari Kasus Job Training Sragen"
Posting Komentar