Mbela Wong Cilik Melalui Perpustakaan !
Oleh Romi Febriyanto Saputro*
Artikel
ini telah dimuat di Harian Solo Pos, 15 September 2011
Beberapa
waktu lalu, Bupati Sragen, Agus Fatchur Rahman memberi pengarahan kepada para
pimpinan SKPD dan para PNS lainnya agar mampu menerjemahkan konsep keberpihakan
terhadap wong cilik. Dia menyontohkan bukti riil keberpihakan pemerintah
kepada orang kecil yang dilakukan Pemerintah Kota (Pemkot) Solo, yakni dengan
memberikan 333 netbook kepada para siswa miskin berprestasi.
“Konsep
mbela wong cilik itu harus diwujudkan dalam RPJMD (Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah-red) dan APBD 2012 mendatang. Tujuan pembangunan
bukan untuk membahagiakan bupati, tetapi bersama-sama memberikan yang terbaik
bagi rakyat (Solopos, 5 September 2011)
Mbela Wong Cilik, saat ini merupakan konsep yang
menjadi program Pemerintah Kabupaten Sragen. Tulisan ini mencoba menerjemahkan
konsep keberpihakan kepada rakyat kecil ini dari sudut pandang bidang
perpustakaan.
Kemiskinan
merupakan problem utama wong cilik di
negeri ini. Angka kemiskinan di Kabupaten Sragen diprediksi naik
sekitar 16 persen pada tahun 2011. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sragen memprediksi sebanyak 104.800 kepala keluarga
(KK) atau 40 persen dari jumlah KK sebanyak 262.000 masuk kategori KK miskin.
Jumlah KK miskin tersebut meningkat 16 persen dibanding jumlah KK miskin hasil pendataan tahun 2008 atau meningkat 10 persen dari data KK miskin tahun 2005.
Jumlah KK miskin tersebut meningkat 16 persen dibanding jumlah KK miskin hasil pendataan tahun 2008 atau meningkat 10 persen dari data KK miskin tahun 2005.
Kemiskinan
menyebabkan akses wong cilik terhadap
layanan pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan ekonomi menjadi terbatas. Tentu kita masih ingat
dengan kritikan Eko Prasetyo dalam bukunya “Orang Miskin Dilarang Sakit” dan
“Orang Miskin Dilarang Sekolah” yang mewakili potret pedih wong cilik di Indonesia.
Selama
ini penanganan kemiskinan di tanah air terjebak pada program sesaat yang tidak berkesinambungan. Program beras untuk
rakyat miskin (raskin) sekedar menghasilkan wong cilik yang menjual beras
“raskin” karena kualitasnya memang terkadang memprihatinkan. Bantuan tunai
untuk rakyat miskin tidak menghasilkan manfaat untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat kecil kecuali sekedar uang penyambung hidup semata bagi wong cilik. Dampak program sosial ini
akan menimbulkan efek ketergantungan pada rakyat miskin dan bukan pemberdayaan.
Model
penanggulangan kemiskinan seperti ini perlu diubah. Berikanlah kail pada wong cilik dan jangan berikan ikan
belaka. Kail itu adalah literasi
informasi. Laporan UNESCO tahun 2005 berjudul Literacy for Life
menyebutkan bahwa ada hubungan
yang erat antara literasi dengan kemiskinan.
Di banyak
negara, di mana angka kemiskinan tinggi,
tingkat literasi cenderung rendah. Literasi menyebabkan tingkat penghasilan
perkapita rendah. Seperti yang terjadi di
Banglades, Ethiopia, Ghana, India, Nepal, dan Mozambique. Lebih dari
78 persen penduduknya, penghasilan per
hari di bawah 2 dollar AS.
Literasi
informasi adalah seperangkat ketrampilan untuk mendapatkan jalan keluar dari
suatu masalah yang ada. Ketrampilan ini mencakup ketrampilan mengidentifikasi
masalah, mencari informasi, menyortir, menyusun, memanfaatkan,
mengkomunikasikan dan mengevaluasi hasil jawaban dari pertanyaan atau masalah
yang dihadapi.
Literasi
sendiri secara sederhana diartikan sebagai kemampuan membaca dan menulis. Dalam
konteks pemberdayaan masyarakat, literasi mempunyai arti kemampuan memperoleh informasi
dan menggunakannya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi
masyarakat.
Literasi informasi merupakan jiwa sebuah
perpustakaan. Perpustakaan Nasional RI melukiskan kemampuan informatif ini
dalam logonya yang terdiri dari : buku terbuka;
nyala obor; dua tangan terkatup dengan lima jari menopang; lima dasar
penunjang dan lima sinar memancar dengan latar belakang lingkaran warna biru.
Buku terbuka melambangkan sumber ilmu pengetahuan yang senantiasa
berkembang. Nyala obor melambangkan pelita dalam usaha mencerdaskan kehidupan
bangsa. Dua tangan terkatup dengan lima jari menopang melambangkan ilmu
pengetahuan baru dapat dicapai melalui pembinaan pendidikan seutuhnya dengan
ditunjang oleh sarana pustaka yang lengkap. Lima dasar penunjang dan lima sinar
memancar melambangkan dasar falsafah Pancasila dalam ilmu pengetahuan
menghasilkan manusia Indonesia seutuhnya yang berguna bagi nusa dan bangsa.
Latar belakang lingkaran melambangkan
kebulatan tekad dalam usaha mewujudkan pemerataan pendidikan bagi seluruh
rakyat Indonesia. Sedangkan warna biru adalah warna yang memiliki sifat tenang
dan memberikan kesan kedalaman. Jadi, pengertian warna biru pada logo
Perpustakaan Nasional RI ialah ketenangan berpikir, dan kedalaman ilmu pengetahuan
yang dimiliki merupakan landasan pengabdian kepada masyarakat, nusa dan bangsa.
Perpustakaan merupakan sarana bagi wong cilik untuk mengembangkan kemampuan
informatifnya. Menurut H.A.R Tilaar (1999), kemampuan informatif merupakan
kemampuan seseorang untuk menganalisa dan mencari manfaat dari informasi yang
diperoleh. Ada beda antara data dan informasi. Data yang telah diolah berubah
menjadi informasi dan inilah yang mempunyai kegunaan di dalam perkembangan ilmu
pengetahuan ataupun aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam kehidupan
manusia.
Mbela wong cilik harus diartikan dengan memberdayakan wong cilik agar dapat meningkatkan
kemampuan informatifnya sehingga setara dengan wong gedhe. Jika untuk membaca buku wong gedhe bisa dengan jalan membeli buku, maka untuk wong cilik cukup meminjam buku di
perpustakaan. Wong cilik jelas akan
mengalami kesulitan untuk membeli buku. Mengingat untuk memenuhi kebutuhan
sandang dan pangan saja mereka mengalami kesulitan.
Kebijakan mbela wong cilik artinya pemerintah
berkomitmen untuk menghadirkan jendela
dunia tak hanya di ibu kota kabupaten saja melainkan di kampung, dukuh,
desa, dan kecamatan.
Mbela wong cilik dapat dimulai dengan mendirikan 20 perpustakaan
kecamatan yang akan menjadi pelopor untuk melahirkan perpustakaan desa,
perpustakaan rumah ibadah, perpustakaan masyarakat, dan taman bacaan
masyarakat. Menyuruh rakyat rajin
membaca tanpa menyediakan bahan bacaan yang memadai di perpustakaan sama dengan
ilusi belaka.
Jika wong cilik sudah gemar membaca maka cakrawala pengetahuan mereka
akan meningkat. Tumbuhnya cakrawala pengetahuan inilah yang akan menjadi obat perangsang guna meningkatkan
kesejahteraan wong cilik. Lalu,
dimana peran wong gedhe ? Wong
gedhe yang katanya sering membeli buku – namun terkadang juga lupa
membacanya – bisa menyumbangkan bukunya di perpustakaan.
Bagi wong gedhe yang tidak suka membeli dan membaca buku masih terbuka
kesempatan untuk mbela wong cilik
dengan menjadi donator tetap bagi perpustakaan. Agar perpustakaan tidak
kehilangan nafas dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Mari kita mbela wong cilik dengan perpustakaan !
Samakah orang yang mengetahui dengan yang tidak mengetahui ?
*Romi Febriyanto Saputro, S.IP adalah Kasi
Pembinaan, Penelitian dan Pengembangan Perpustakaan (Binalitbang) di Kantor
Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen. Juara Pertama Lomba Penulisan Artikel
Tentang Kepustakwanan Indonesia Tahun 2008 yang diselenggarakan oleh Perpusnas
RI.
0 Response to "Mbela Wong Cilik Melalui Perpustakaan !"
Posting Komentar