Apresiasi Perpustakaan Daerah
Tulisan ini telah dimuat di Harian Suara Merdeka, 27 Desember 2011
Oleh : Romi Febriyanto Saputro*
Menurut Kepala Humas Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) Agus Sutoyo, pengelolaan perpustakaan di daerah dinilai kurang maksimal. Daerah dianggap tidak memiliki komitmen kuat untuk mengembangkan perpustakaan daerah, khususnya dalam hal pergantian pimpinan perpustakaan. Misalnya, ada kepala perpustakaan di daerah yang sudah bagus, manajemannya bagus, berhasil dalam pengelolaan perpustakaan di daerah, itu akan cepat sekali diganti oleh bupati atau gubernur (Suara Merdeka, 16 November 2011).
Oleh : Romi Febriyanto Saputro*
Menurut Kepala Humas Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) Agus Sutoyo, pengelolaan perpustakaan di daerah dinilai kurang maksimal. Daerah dianggap tidak memiliki komitmen kuat untuk mengembangkan perpustakaan daerah, khususnya dalam hal pergantian pimpinan perpustakaan. Misalnya, ada kepala perpustakaan di daerah yang sudah bagus, manajemannya bagus, berhasil dalam pengelolaan perpustakaan di daerah, itu akan cepat sekali diganti oleh bupati atau gubernur (Suara Merdeka, 16 November 2011).
Kabupaten
maupun kota merupakan wilayah kerja yang sebenarnya dari perpustakaan.
Perpustakaan dengan tugas utamanya memberdayakan masyarakat dengan membaca
sering menghadapi kendala ketika program dari Perpustakaan Nasional RI hendak
diaplikasikan di tingkat kabupaten/kota. Rencana yang sudah disusun matang di
tingkat pusat menjadi mentah kembali ketika berbenturan dengan kebijakan
pemerintah kabupaten/kota.
Sinkronisasi
program di bidang perpustakaan perlu dilakukan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. Langkah pertama
adalah membangun komunikasi yang baik antara
perpustakaan umum kabupaten/kota dengan bupati/walikota. Saat ini, rekan-rekan
di perpustakaan umum kabupaten/kota di Jawa Tengah sangat jarang menjalin
komunikasi yang intensif dengan pimpinan daerah.
Jika
ingin perpustakaan mendapat perhatian, maka perpustakaan harus sering
berkomunikasi dengan bupati/walikota baik melalui surat maupun lisan.
Bupati/walikota yang merupakan pejabat politis “anggap saja” – tanpa bermaksud
merendahkan - belum paham dunia perpustakaan meskipun beliau sering mengaku
gemar membaca.
Suarakan
kepada mereka bahwa perpustakaan bukan sekedar tempat sirkulasi buku saja
melainkan juga institusi untuk memberdayakan masyarakat. Buku-buku di perpustakaan perlu selalu
diperbarui dengan dukungan dana APBD. Jangan hanya menganggarkan Rp 2.000.000
saja per tahun untuk pengadaan buku seperti yang terjadi di Boyolali.
Perpustakaan
juga tidak boleh terjebak pada kegiatan rutin layanan. Perpustakaan juga harus
bisa melakukan banyak kegiatan meskipun tanpa didukung dana APBD yang memadai seperti
promosi perpustakaan dan pembinaan perpustakaan. Di Sragen, kami bisa
menyelenggarakan peringatan “World Book Day, 23 April 2011” dengan dukungan
dana sponsor dan masyarakat. Tanpa harus merepotkan APBD Sragen yang saat ini
tengah defisit.
Kedua, menyeragamkan bentuk kelembagaan
perpustakaan umum kabupaten/kota. Di Jawa Tengah, bentuk kelembagaan
perpustakaan umum kabupaten/kota cukup beraneka ragam. Sebagian besar berbentuk
kantor gabungan perpustakaan dan arsip seperti yang terjadi di Solo dan
Semarang. Hanya sebagian kecil yang berdiri sendiri sebagai kantor (eselon
III/a) seperti yang dilaksanakan di Sragen dan Wonosobo.
Bentuk
kelembagaan yang direkomendasikan oleh Perpustakaan Nasional RI adalah kantor
mandiri dengan eselon III/a. Bentuk kelembagaan yang berbeda-beda jelas akan
menyulitkan Perpustakaan Nasional RI untuk mengambil kebijakan di daerah. Diakui
atau tidak derajad eselonisasi suatu SKPD merupakan indikator tinggi -
rendahnya perhatian yang diberikan oleh pemerintah kabupaten/kota. Budaya baca
bangsa ini yang masih rendah tidak akan bisa diselesaikan hanya dengan
memberikan bentuk kelembagaan seadanya saja.
Ketiga, menyamakan persepsi bahwa urusan perpustakaan adalah
tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dan daerah. Tanggung jawab
pelaksanaan pembangunan bidang perpustakaan di daerah adalah tanggung jawab
pemerintah kabupaten/kota. Perpustakaan bukan
sekedar lembaga papan nama yang ada
sekedar untuk menggugurkan kewajiban. Perpustakaan adalah lembaga yang
didirikan untuk memberdayakan masyarakat kabupaten/kota.
Dahulu
kala, pernah ada seorang bupati yang dengan enteng berkata, “ Aku malu dengan
kondisi gedung perpustakaan daerah ”. Rupanya beliau yang terhormat lupa bahwa
keberadaan gedung perpustakaan daerah adalah bagian dari tanggung jawabnya.
Hilangnya rasa tanggung jawab inilah yang menghambat pelaksanaan program
perpustakaan di daerah. Ironisnya, di tanah air amnesia tanggung jawab ini telah menjadi budaya sebagian besar
pimpinan kabupaten/kota.
Saat
ini indek pembangunan manusia (IPM) Indonesia mengalami penurunan dari
peringkat 106 pada tahun lalu menjadi 124 dari 187 negara pada tahun 2011. Sepuluh
tingkat di bawah Palestina yang berada di peringkat 114. Bagaimana agar IPM
kita bisa beranjak dari angka 100 ? Perpustakaan adalah jawabannya !
IPM adalah pengukur hasil kebijakan
pembangunan multisektoral terhadap kualitas hidup manusia, yang dipakai program
pembangunan PBB untuk laporan tahunannya. Salah satu komponen penilaian yang
mencapai bobot dua pertiga adalah penguasaan pengetahuan yang diukur dengan
kemampuan membaca dan menulis fungsional yang merupakan wilayah kerja
perpustakaan. Ini akibatnya,
jika mengabaikan perpustakaan !
*Romi Febriyanto Saputro, S.IP adalah Kasi
Pembinaan, Penelitian dan Pengembangan Perpustakaan (Binalitbang) di Kantor
Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen. Juara Pertama Lomba Penulisan Artikel
Tentang Kepustakwanan Indonesia Tahun 2008 yang diselenggarakan oleh Perpusnas
RI.
0 Response to "Apresiasi Perpustakaan Daerah"
Posting Komentar