Akar Korupsi di Kalangan PNS
-->
Oleh : Romi Febriyanto Saputro*
Tulisan ini telah dimuat di Harian Republika, 13 Februari 2012
Indonesia
Corruption Watch (ICW) dalam survei yang melansir tren penegakan hukum kasus korupsi
menyebutkan, tersangka berlatar belakang pegawai negeri sipil (PNS) menempati
urutan teratas selama tahun 2011. Jumlah tersangka PNS mencapai 239 orang.
Diikuti oleh direktur atau pimpinan perusahaan swasta sebanyak 190 orang serta
anggota DPR/DPRD sebanyak 99 orang. Tingginya angka korupsi PNS konsisten
dengan tahun 2010, yakni sebanyak 336 orang.
Koordinator Divisi Investigasi ICW Agus
Sunaryanto mengatakan, masih tingginya korupsi PNS disebabkan kegagalan
badan-badan pengawas internal pemerintah pusat atau daerah seperti Bawesda,
Irjen dalam mengantisipasi berbagai penyimpangan. Kebijakan renumerasi dalam
kerangka reformasi birokrasi ternyata masih belum efektif mereduksi berbagai
perilaku korup PNS.
Korupsi menurut bahasa Latin yaitu
corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan,
memutarbalik, menyogok. Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik,
baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan
tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan
menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Akar korupsi yang paling kuat memang
berada di lembaga birokrasi. Birokrasi tak ubahnya mesin korupsi yang tak akan
pernah berhenti memproduksi koruptor. Selama
ini yang banyak dicurigai melakukan tindak pidana korupsi adalah PNS golongan
tua alias para pejabat dengan eselon yang relatif tinggi. Kini, para koruptor muda sudah banyak belajar dari para koruptor
tua tentang ilmu merampok uang negara.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keungan (PPATK) menyatakan ada 50 persen pegawai negeri sipil (PNS) muda yang
kaya tapi korupsi. Indikator kaya menurut PPATK adalah bergaya hidup mewah,
mempunyai barang mewah, dan memiliki rekening tidak wajar. Modus korupsi
dilakukan dengan mengalirkan dana yang diindikasikan dari penyelenggaraan
negara berupa proyek fiktif, gratifikasi, dan suap kepada keluarga
Dalam ilmu psikologi kita mengenal teori
behavioral atau lebih dikenal dengan teori belajar. Teori ini memandang individu
sebagai makhluk reaktif yang memberi respon terhadap lingkungan. Pengalaman dan
pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka. Para PNS muda ketika datang
pertama kali di sarang koruptor tentu tidak pernah punya pikiran sedikit pun
untuk mencuri uang negara. Pengalaman dan interaksi dengan sistem yang korup
membuat pertahanan diri mereka runtuh. Korupsi yang dipraktikkan secara
teroraganisir membuat abdi negara muda ini tanpa disadari menjadi bagian dari
kejahatan terhadap negara.
Para
PNS muda tidak mungkin melakukan praktik kotor ini sendiri. Mereka hanya
menjadi kaki tangan para koruptor yang telah berpengalaman puluhan tahun
menghindari jerat hukum. Birokrasi adalah sistem, tidak mungkin seseorang tanpa
menduduki jabatan penting tiba-tiba menjadi sasaran suap dan gratifikasi. Semua
tentu ada hirierkinya. Menjadi tugas KPK untuk menangkap aktor intelektual
dibalik temuan ini.
Aristoteles
berpendapat bahwa pada waktu lahir jiwa manusia tidak memiliki apa-apa, seperti
sebuah meja lilin yang siap dilukis oleh pengalaman. Menurut John
Locke(1632-1704), salah satu tokoh empiris, pada waktu lahir manusia tidak
mempunyai “warna mental”. Warna ini didapat dari pengalaman. Pengalaman adalah
satu-satunya jalan ke pemilikan pengetahuan. Idea dan pengetahuan adalah produk
dari pengalaman. Secara psikologis, perilaku PNS muda ini ditentukan “warna
mental” selama menjadi kaki tangan
pejabat korup.
Menurut
Thorndike belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara
peristiwa yang disebut stimulus dan respon. Teori belajar ini disebut teori
“connectionism”. Thorndike menemukan hukum-hukum. Pertama, hukum kesiapan (Law of Readiness). Jika suatu
organisme didukung oleh kesiapan yang kuat untuk memperoleh stimulus maka
pelaksanaan tingkah laku akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi
cenderung diperkuat.
Dorongan
untuk melakukan korupsi dalam diri PNS muda akan semakin menguat tatkala mereka
memiliki “bibit-bibit” korupsi yang dalam istilah Sigmund Freud disebut dengan
“Id”. Id
merupakan libido murni atau energi psikis yang bersifat irasional. Id merupakan sebuah keinginan yang
dituntun oleh prinsip kenikmatan dan berusaha untuk memuaskan kebutuhan ini.
Keinginan untuk menjadi kaya dengan cara instan tetapi bisa selalu lolos dari
jerat hukum.
Kedua, hukum latihan. Semakin sering
suatu tingkah laku dilatih atau digunakan maka asosiasi tersebut semakin kuat.
Semakin sering PNS muda dilatih untuk korupsi, maka mereka akan semakin
terampil menguasai 1000 jurus korupsi tanpa ketahuan. Bahkan bisa
jadi kemampuan dan kesaktian sang
murid kini melebihi sang guru. Mereka telah menjelma menjadi monster koruptor
yang sakti mandraguna.
Ketiga, hukum akibat. Hubungan stimulus
dan respon cenderung diperkuat bila akibat menyenangkan dan cenderung
diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan. Selama ini akibat korupsi selalu
menyenangkan bagi pelakunya. Bergelimang harta dan kemewahan tatkala belum
ditangkap KPK, dan setelah ditangkap pun mereka masih punya peluang untuk hidup
mewah di penjara. Ketika dipenjara pun masih punya peluang untuk mendapatkan
remisi.
Hal ini tentu akan semakin menyuburkan
praktik korupsi oleh PNS. Koruptor muda akan semakin merasakan nikmatnya
korupsi seperti kisah Bakir dalam novel berjudul Korupsi karya Pramoedya Ananta
Toer. Novel ini diterbitkan
pertama kali tahun 1954 dan diterbitkan ulang tahun 2002 oleh Hasta Mitra.
Novel
ini terdiri dari 14 bab dan bercerita tentang seorang pegawai negeri bernama
Bakir yang melakukan korupsi. Awalnya, ia melakukan korupsi karena desakan
ekonomi keluarga, namun lama kelamaan ia semakin rajin melakukan korupsi
sehingga ia menjadi kaya raya. Ia terjerumus ke dalam pergaulan tingkat atas
yang penuh kepalsuan dan kemewahan tanpa makna, yang membuat jiwanya kian
hampa. Pada akhirnya, segala kejahatannya terbongkar dan ia pun terpuruk dalam
penjara.
Dalam
karyanya ini Pramoedya menggambarkan dengan jeli dalam gaya satir yang memikat
bagaimana penyakit korupsi bisa mewabah secara luas menjadi kebiasaan sosial.
Setelah nyaris setengah abad, ternyata novel ini masih sangat relevan dengan
problema sosial-politik Indonesia dewasa ini.
Pramoedya
menulis cerita ini di tahun 1953—hanya delapan tahun setelah kemerdekaan
republik ini diproklamasikan—dan kini, di awal abad 21, kita masih saja
menghadapi persoalan serupa: para pejabat korup kian menggerogoti uang negara
dan rakyat banyak mesti menanggung akibatnya. Seakan-akan, korupsi tak pernah
mati.
*Romi
Febriyanto Saputro, S.IP adalah Kasi Pembinaan, Penelitian dan Pengembangan
Perpustakaan (Binalitbang) di Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen.
Juara Pertama Lomba Penulisan Artikel Tentang Kepustakwanan Indonesia Tahun
2008 yang diselenggarakan oleh Perpusnas RI.
1 Response to "Akar Korupsi di Kalangan PNS"
Thanks gan artikelnya. Kunjungi juga Tips Lulus Tes Wawancara CPNS
Posting Komentar