Pustakawan Bukan Profesi Kaleng-kaleng !

 

 Oleh : Romi Febriyanto Saputro*

 

Artikel ini telah dimuat di Buletin Pustakawan 

Volume XXVIII No.1 Periode Januari - Juni 2020

 

Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian mengatakan profesi pustakawan agar tak diisi oleh orang yang tak kompeten dalam mengelola perpustakaan. Pustakawan yang kompeten dinilai bisa mengembangkan kualitas perpustakaan yang maksimal. Indonesia saat ini memiliki tidak kurang dari 164.610 perpustakaan. Namun, tidak sebanding dengan kuantitas pustakawan yang tersedia saat ini sebanyak 12.301 tenaga pustakawan di seluruh Indonesia. Kekurangan jumlah tenaga pustakawan jangan sampai diisi oleh orang-orang yang tidak mengerti tentang perpustakaan. Jika ditangani oleh orang yang tidak berkompeten, bagaimana untuk mengelola perpustakaannya. Jangan diisi orang yang setengah hati dan tidak mempunyai passion. Jika keinginan saja tidak ada, komitmen tidak ada, pasti hasilnya tidak maksimal. Demikian berita yang ditulis oleh Kompas, 27 Februari 2020.

 

Pernyataan Menteri Dalam Negeri RI di atas menunjukkan bahwa pustakawan bukan profesi kaleng-kaleng. Tidak semua orang dapat diangkat menjadi Pejabat Fungsional Pustakawan. Tidak semua pejabat struktural yang mengajukan pindah menjadi Pejabat Fungsional Pustakawan harus dikabulkan. Pustakawan harus memiliki kompetensi yang unggul dalam  dalam membangun sumber daya manusia melalui perpustakaan. Apalagi ketika zaman sudah bergerak menuju smart society atau yang lebih dikenal dengan istilah Society 5.0.

 

Mengutip tulisan Siti Mahfudzoh (Republika, 22 Agustus 2019), gagasan ini muncul atas respon revolusi Industri 4.0 sebagai signifikannya perkembangan teknologi, tetapi peran masyarakat sangat menjadi pertimbangan atas terjadinya revolusi industri 4.0 ini. Society 5.0 menawarkan masyarakat yang berpusat pada manusia yang membuat seimbang antara kemajuan ekonomi dengan penyelesaian masalah sosial melalui sistem yang sangat menghubungkan melalui dunia maya dan dunia nyata. Di society 5.0 itu bukan lagi modal, tetapi data yang menghubungkan dan menggerakkan segalanya, membantu mengisi kesenjangan antara yang kaya dan yang kurang beruntung. Layanan kedokteran dan pendidikan, dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi akan mencapai desa-desa kecil.

 

Sebenarnya, konsep revolusi industri 4.0 dan society 5.0 tidak memiliki perbedaan yang jauh. Yaitu revolusi industri 4.0 menggunakan kecerdasan buatan (artificial intellegent) sedangkan society 5.0 memfokuskan kepada komponen manusianya. Konsep society 5.0 ini, menjadi inovasi baru dari society 1.0 sampai society 4.0 dalam sejarah peradaban manusia.

 

Mulai dari society 1.0 manusia masih berada di era berburu dan mengenal tulisan. Pada society 2.0 adalah pertanian di mana manusia sudah mulai mengenal bercocok tanam. Lalu pada society 3.0 sudah memasuki era industri yaitu ketika manusia sudah mulai menggunakan mesin untuk menunjang aktivitas sehari-hari, setelah itu muncullah society 4.0 yang kita alami saat ini, yaitu manusia yang sudah mengenal komputer hingga internet juga penerapannya di kehidupan.

 

Jika society 4.0 memungkinkan kita untuk mengakses juga membagikan informasi di internet. Society 5.0 adalah era di mana semua teknologi adalah bagian dari manusia itu sendiri. Internet bukan hanya sebagai informasi melainkan untuk menjalani kehidupan. Sehingga perkembangan teknologi dapat meminimalisir adanya kesenjangan pada manusia dan masalah ekonomi pada kemudian hari.

 

Pustakawan bukan profesi kaleng-kaleng. Menurut saya ada beberapa kompetensi yang harus melekat pada diri pustakawan dalam mengisi era Society 5.0. Pertama, seorang pustakawan harus mencintai buku. Bukti cinta itu adalah suka membaca koleksi buku yang dikelolanya. Jika seorang pustakawan tak mau  membaca buku yang dia jaga berarti dia telah menurunkan martabat diri sekedar menjadi penjaga buku. 

 

Pustakawan perlu membaca koleksi yang dia jaga sama seperti penjaga apotik  yang sangat hafal dengan spesifikasi obat yang dijaga. Pustakawan tidak cukup menghafal letak buku tetapi juga harus hafal spesifikasi buku yang dilayankan. Latar belakang judul buku, latar belakang pengarang, garis-garis besar isi buku, dan segmentasi pembaca buku merupakan pengetahuan yang dapat dipetik oleh pustakawan ketika mau membaca koleksi yang dijaga.  Pustakawan adalah orang yang paling layak merekomendasikan buku yang tepat untuk pemustaka yang beragam latar belakang kehidupannya.

 

Kedua, seorang pustakawan mesti mau dan mampu merajut aneka informasi yang telah dibaca menjadi tulisan yang bergizi tinggi. Borges dikenal sebagai penulis prosa dan esai-esai yang tidak kenal kompromi pada politik. Pada 1946, ketika Presiden Juan Domingo Perón mulai mengubah arah politik Argentina, Borges menjadi penulis “bertangan dingin” yang terus melancarkan kritik pedas. Ia diam-diam mencoba menyelamatkan perpustakaan dari kobaran api politik.

 

Seorang pustakawan sekaligus sastrawan besar Argentina, Jorge Luis Borges (1899-1986), seperti dikutip oleh Naufil Istikhari (Tempo,19 Juni 2013) pernah berujar: “I have imagined that paradise will be a kind of library!” (Aku membayangkan surga itu menjadi semacam perpustakaan). Bagi Borges, tak ada tempat yang paling menyenangkan selain perpustakaan. Ia menyediakan segala yang dibutuhkan, untuk pengetahuan.Tentu Borges tidak sedang melancarkan serangan filsafat atas konsep metafisika surga seperti yang rajin dilakukan khas pemikir Barat pada masanya. Ia hanya melayangkan gambaran imajiner, saking senangnya berada di perpustakaan, seakan-akan ia surga. Sebab, di perpustakaan, ia menemukan indahnya kehidupan.

 

Perpustakaan di mata Borges menjadi tampak gagah. Ia sendiri diangkat menjadi Direktur Biblioteca Nacional (Perpustakaan Umum) pada 1955. Terlahir dari keluarga kelas menengah Argentina, kemudian menjabat kepala perpustakaan, membuat Borges merasakan pengalaman manis dengan perpustakaan. Sangat masuk akal jika perpustakaan yang dikelolanya mengalami peningkatan pemanfaatan.

 

Ketiga, pustakawan harus mampu beradaptasi dengan teknologi informasi. Suka membaca dan suka menulis adalah modal utama seorang pustakawan untuk menjelajahi lautan informasi yang tersedia karena kemajuan teknologi informasi. Artinya, teknologi informasi memudahkan seorang pustakawan untuk melakukan pengumpulan informasi, seleksi informasi dan menyebarluaskan informasi kepada pemustaka. Jurnal elektronik, karya tulis elektronik, dan buku elektronik hari ini bertebaran di dunia maya. Tugas pustakawan adalah membuat panduan bagi pemustaka agar tidak tersesat dan tenggelam ketika melayari samudera informasi. 

 

Keempat, pustakawan adalah pendorong  kreasi dan inovasi. Kreasi dan inovasi adalah buah dari membaca dan menulis.  Menurut Kepala Perpusnas RI, Muhammad Syarif Bando dalam situs resmi Perpusnas RI, 27 Februari 2020,  secara umum literasi dibagi empat tingkatan. Yang pertama, kemampuan mengumpulkan sumber bahan bacaan yang cukup. Bahkan, UNESCO mensyaratkan minimal setiap orang memiliki tiga buku baru dalam setahun. Kedua, yakni kemampuan memahami secara tersurat maupun tersirat. Ketiga, literasi dimaknai sebagai kemampuan menghasilkan ide/gagasan, teori, kreativitas, dan inovasi baru. Dan yang terakhir, literasi adalah kemampuan menciptakan barang atau jasa yang bermutu. Pustakawan adalah pemandu literasi yang mengajak pemustaka untuk  rajin mengumpulkan informasi, memberdayakan informasi dan melahirkan kreasi dan inovasi.

 

*Romi Febriyanto Saputro,  S.IP, S.I.Pust, M.A.P adalah Kasi Pembinaan dan Pengembangan Perpustakaan Dinas Arsip dan Perpustakaan Kab.Sragen

Related Posts:

0 Response to "Pustakawan Bukan Profesi Kaleng-kaleng !"