Mengakselerasi Kepustakawanan


Oleh : Romi Febriyanto Saputro*
Artikel ini telah dimuat di Harian Suara Merdeka, 24 Juni 2013
Musda Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) Provinsi Jateng pada 12 Juni lalu telah memilih Drs Mulyono MPd, Kepala UPT Perpustakaan Daerah Provinsi, sebagai ketua periode 2013-2016. Merujuk UU Nomor 43 Tahun 2007, pustakawan memang bisa membentuk organisasi profesi, antara lain untuk lebih memberdayakan dan melindungi anggota.
Konsekuensinya, semua pustakawan harus menjadi ang­gota organisasi. Pembinaan dan pengembangan organisasi difasilitasi oleh pemerintah pusat dan daerah, serta masyarakat. Saat ini keberadaan IPI belum dikenal secara luas oleh masyarakat sehingga epengurusan baru organisasi perlu lebih optimal menyosialisasikan dan mempromosikan.

Dari 35 kabupaten/ kota di Jawa Tengah, baru ada 10 kepengurusan IPI di kabupaten/ kota, yaitu di Semarang, Tegal, Boyolali, Wonogiri, Pemalang, Batang, Jepara, Banyumas, Solo, dan Salatiga.
Keanggotaan IPI di daerah juga terhitung minim karena baru 325 orang, terdiri atas 22 orang dari perpustakaan sekolah (6,76%), 30 dari perpustakaan khusus (9,23%), 32 dari UPT Perpusda Provinsi Jateng (9,84%),  35 dari perpustakaan umum kabupa­ten/kota (10,76%), dan 206 orang dari perpustakaan perguruan tinggi (63,38%).
Komposisi keanggotaan itu menunjukkan IPI masih berdiri di puncak menara gading. Kebijakan pemberdayaan dan pembinaan pustakawan masih terpusat di ibu kota provinsi dan perguruan tinggi. Pembi­na­an teritorial yang mencakup 35 kabupaten/ kota masih jarang dilakukan.
Saat ini, masih ada PNS yang memiliki latar belakang pendidikan ilmu perpustakaan namun enggan menjadi pustakawan. Ada juga yang berminat untuk membaktikan ilmu tetapi mereka ditugaskan pada bidang lain oleh pejabat kepegawaian. Bahkan ada yang menjadi bendahara. Padahal mereka diterima sebagai CPNS untuk mengisi formasi pustakawan.
Organisasi profesi seyogianya memberikan bantuan teknis agar PNS alumnus ilmu perpustakaan bisa bekerja sesuai dengan keahliannya. Pustakawan yang mengalami kesulitan memperoleh angka kredit juga harus dicarikan jalan keluarnya. Jangan sampai mereka menanggung beban sendirian dalam ketidakpas­tian.
Sertifikasi Pustakawan
Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan meningkatkan kompetensi pusta­kawan, terutama dalam menu­lis karya ilmiah. Hal itu mengingat karya ilmiah merupakan salah satu kegiatan yang memiliki angka kredit tinggi. Orga­nisasi harus sering memberikan pelatihan dan pendampingan kepada pustakawan supaya bisa menulis karya ilmiah.
Selain itu, seyogianya menerbitkan majalah cetak untuk menampung tulisan para pustakawan ini. Majalah cetak ini bisa dilengkapi versi digital untuk meng­hemat biaya. Tugas yang tak kalah penting adalah memberikan advokasi kepada pustakawan non-PNS yang saat ini bekerja di perpustakaan sekolah, perpustakaan desa, dan perpustakaan masyarakat.
Para pengelola perpustakaan non-PNS ini sudah saatnya mendapat  pengakuan sebagai pustakawan dengan dikelola dalam satu wadah organisasi profesi. Pasalnya, tanpa peran para relawan tersebut denyut nadi perpustakaan sekolah dan desa akan terhenti.
Perlu memperjuangkan nasib pustakawan non-PNS supaya kelak jika sertifikasi pustakawan sudah terealisasi, mereka turut mencicipi manisnya kue sertifikasi.
Hal itu sebagaimana guru swasta saat sekarang yang juga sudah mendapat kesempatan oleh pemerintah untuk menikmati kue sertifikasi guru.
Untuk mewujudkan tugas ini, IPI harus lebih sering ke lapangan, merevitalisasi dan mengakselerasi kerja. Termasuk menjalin komunikasi dengan pemkab/ pemkot, perpustakaan umum kabupaten/ kota, perpustakaan sekolah dan desa, dan perpustakaan lain. Semua harus sepakat bahwa tak cukup mengendalikan pekerjaan besar itu hanya dari belakang meja. (10)

–  Romi Febriyanto Saputro SIP, Kasi Binalitbang Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen

Related Posts:

0 Response to "Mengakselerasi Kepustakawanan"