Akar Korupsi di Dunia Pendidikan

-->
Oleh : Romi Febriyanto Saputro*
Artikel ini telah dimuat di Harian Bhirawa Surabaya, 26 Maret 2012

Pada tanggal 5 Februari 2012, ICW mengungkapkan dari 10 sektor, bidang pendidikan paling tinggi kasus korupsinya, yakni 54 kasus dengan kerugian negara Rp115,7 miliar. Sektor keuangan daerah berada di posisi kedua dengan 51 kasus disusul sosial kemasyarakatan (www.detik.com).
Kurang lebih empat tahun yang lalu, peneliti dari Divisi Monitoring Pelayanan Publik ICW, Febri Hendri, mengatakan bahwa manajemen perencanaan dan pengelolaan keuangan sekolah masih berantakan. APBS belum transparan dan akuntabel. Selain itu, masih belum ada kebijakan yang kuat mengatur perencanaan dan pengelolaan sekolah. 

Perencanaan dan penganggaran sekolah masih didominasi kepala sekolah. Anggaran pendapatan dan belanja sekolah atau APBS harus transparan dan melibatkan komite sekolah serta orang tua murid dalam penyusunannya. Tak jarang komite sekolah hanya menjadi stempel kepala sekolah dalam penyusunan APBS. (Kompas, 16 Juli 2008).
Peringatan ICW di atas seolah hendak mengatakan bahwa dunia pendidikan merupakan lahan subur terjadinya korupsi. Problem utama yang menyuburkan korupsi di lingkungan sekolah, baik dasar maupun menengah adalah pertama, ketertutupan anggaran. Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS) seolah hanya menjadi milik kepala sekolah dan bendahara. Para guru dan orang tua murid, tidak memperoleh akses maksimal terhadap APBS.
Padahal sistem anggaran sekarang menggunakan sistem RASK (Rencana Anggaran Satuan Kerja) yang diharapkan lebih transparan daripada sistem sebelumnya. RASK yang disusun berdasarkan usulan kegiatan masing-masing unit kerja, ternyata tidak mampu mengatasi kesaktian virus korupsi.
            Kedua, kekuasaan kepala sekolah terlalu besar. Kekuasaan yang superbesar tanpa diimbangi lembaga kontrol yang baik sering menghasilkan penyalahgunaan jabatan. Penyalahgunaan jabatan ujung-ujungnya adalah penyimpangan anggaran yang ada. Hal ini akan semakin parah jika “jiwa proyek” telah menguasai otak sebagian kepala sekolah di tanah air.
Bisa dipahami mengapa sebagian elit sekolah begitu rajin dan bersemangat untuk mendapatkan bantuan pendidikan bagi sekolahnya, karena proyek untuk sekolah berarti proyek untuk dirinya juga. Bisa dipahami pula mengapa jabatan kepala sekolah menjadi ajang kompetisi – bukan hanya kompetensi tetapi juga kolusi-karena menjadi kepala sekolah merupakan salah satu cara untuk menjadi OKB, orang kaya baru.
            Ketiga, lemahnya kontrol dewan guru. Dewan guru merupakan partner kepala sekolah untuk bersama-sama membangun dunia pendidikan untuk mencerdaskan anak didiknya. Tetapi keduanya sering tidak sinkron dalam menjalankan peran mulianya itu. Dewan guru sering dibuat frustasi oleh kepala sekolah yang tidak mau mendengar masukan darinya, di sisi lain dewan guru juga belum mau bertindak tegas untuk melaporkan penyimpangan yang dilakukan oleh kepala sekolah kepada pihak yang berwenang.
Hubungan antara dewan guru dan kepala sekolah saat ini mirip dengan hubungan antara DPR/D dengan presiden/bupati di masa orde baru. Letak perbedaannya DPR/D masa lalu sama sekali tidak pernah mengkritik, sedangkan dewan guru berani mengkritik – tetapi tanggung- sehingga kalah dengan kesaktian kepala sekolah. Apalagi secara personil, anggota dewan guru merupakan bawahan kepala sekolah.
Hal ini merupakan beban tersendiri bagi anggota dewan guru untuk bersuara lantang. Selain itu keberanian untuk melaporkan penyimpangan yang dilakukan kepala sekolah sering kontradiktif hasilnya dan membahayakan posisi si pelapor.
            Keempat, mandulnya sebagian (besar?) komite sekolah. Komite sekolah yang merupakan perwakilan tokoh-tokoh masyarakat dan orang tua murid seharusnya dapat  mengapresiasikan mayoritas suara orang tua murid. Tetapi kenyataannya, komite sekolah tak lebih hanya sebagai “stempel’ kebijakan yang diambil oleh kepala sekolah.
Dalam penentuan pungutan-pungutan pendidikan keberpihakan komite sekolah lebih condong kepada kepala sekolah daripada aspirasi orang tua murid. Akibatnya lahirlah pungutan-pungutan yang terkadang tidak berhubungan secara langsung dengan pendidikan sebagaimana diungkapkan oleh ICW, yang sangat memberatkan orang tua murid.
            Keanggotaan komite sekolah yang cenderung elitis menyebabkan mereka tidak peka terhadap suara hati orang tua murid, yang mayoritas menengah ke bawah. Keanggotaan komite sekolah mestinya perlu juga diisi dengan orang-orang dari kalangan menengah ke bawah agar lebih peka terhadap beban ekonomi orang tua murid.
            Kini sungguh tepat kiranya jika pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2011 yang melarang sekolah penerima bantuan operasional melakukan pungutan kepada peserta didik,  wali murid maupun orang tua murid.
Yang terakhir, ketiadaan sanksi yang tegas dan keras. Penyimpangan APBS sering luput dari sanksi yang tegas dan keras yang mampu membuat jera (shock terapi). Sanksi yang ada hanya bersifat administrative berupa mutasi dengan  tetap menjadi  kepala sekolah di sekolah lain dan pemberhentian dari jabatan kepala sekolah tanpa kewajiban untuk mengembalikan dana yang ada.
Mutasi kepala sekolah yang pernah melakukan tindakan penyimpangan APBS, hakekatnya sekedar memindahkan permasalahan dari sekolah semula ke sekolah lainnya. Sedangkan pemberhentian dari jabatan kepala sekolah tanpa konsekuensi hukum apapun, akan mendorong pelaku penyimpangan untuk mengeksploitasi APBS sebesar-besarnya.
Penegakan hukum untuk membersihkan institusi pendidikan dari depdikbud, dinas pendidikan, hingga ke sekolah mutlak dilakukan walaupun untuk itu perlu kerja sangat keras.
Pendidikan yang merupakan sarana mencerdaskan bangsa jangan sampai berubah menjadi lahan korupsi, kolusi, dan nepotisme bagi kepentingan segelintir oknum elit pendidikan. Kalau tidak, hal ini akan menghasilkan tsunami krisis moralitas dalam dunia pendidikan di tanah air.

Related Posts:

0 Response to "Akar Korupsi di Dunia Pendidikan"