Gempur Narkoba Dengan Minat Baca !
-->
A. Belajar Dari Sejarah
Sejarah telah membuktikan bahwa narkoba dapat menjelma
menjadi “senjata pemusnah massal”. Peradaban sebuah bangsa dapat dihancurkan
dengan meracuni generasi mudanya dengan narkoba. Sejarah perang candu di Cina
membuktikan bahwa kekuatan sebuah bangsa dapat
ditaklukkan dengan tipu daya narkoba. Pasukan kolonialis Inggris sukses
menaklukkan negeri Cina setelah mampu membuat bangsa Cina ketagihan candu.
Sejak awal abad ke -19, para pedagang Inggris secara gelap melakukan
perdagangan candu ke Cina dan mendapatkan untung besar. Cinalah yang menanggung
akibat-akibat buruk yang timbul dari perdagangan ini. Karena itu, Cina melakukan
gerakan anti candu.
Ensiklopedi Nasional Indonesia (1997) menyebutkan pada
tahun 1837, Cina melakukan propaganda anticandu secara gencar dan memperketat
pengawasan pengawasan perdagangan dengan menutup pelabuhan-pelabuhan penting
Cina bagi para pedagang Inggris. Di samping itu, Cina juga menerapkan hukuman
mati bagi pemakai candu, termasuk para cendekiawan dan militer.
Inggris merasa dirugikan dan ingin memaksa Cina membuka
pelabuhannya bagi para pedagang Inggris. Ketegangan terjadi, dan setelah
terjadi peristiwa pembunuhan atas penduduk desa oleh orang Inggris yang sedang
mabuk, meletuslah peperangan. Cina menuntut agar orang-orang yang bersalah itu
diserahkan kepada mereka, tetapi Inggris dengan karakteristik kolonialnya
menolak.
Akibatnya, Kaisar memutuskan untuk menghancurkan semua
gudang candu milik Inggris beserta isinya di Kanton. Pada Bulan Maret 1839,
terjadilan peristiwa pembakaran beribu-ribu peti candu milik Inggris di Kanton.
Pada tahun itu juga Inggris menyatakan perang terhadap
Cina. Beberapa kota pantai Cina diserang dan direbut oleh Inggris. Setelah
peperangan berlangsung selama tiga tahun, Inggris memperoleh kemenangan dan
berhasil memaksakan suatu perjanjian dengan Cina. Perjanjian ini dikenal dengan Perjanjian
Nanking yang ditandatangani pada tanggal 29 Agustus 1842.
Dalam perjanjian ini antara lain ditetapkan : Cina harus
membuka pelabuhan Kanton, Amoy, Foochow, Ninghsien, dan Shanghai untuk para
pedagang Inggris; orang Eropa di Cina mendapatkan hak-hak istimewa; Hongkong
diserahkan kepada Inggris; penetapan bea
impor oleh pemerintah Inggris dan Cina harus membayar kerugian perang kepada
pihak Inggris. Perjanjian Nanking ini memicu negara-negara kolonialis lainnya
seperti Perancis, Jerman, dan Rusia menuntut pula hak-hak istimewa.
Peperangan antara Cina dan Inggris meletus kembali pada
tahun 1856, ketika Inggris hendak melampiaskan syahwat kolonialismenya dengan
memperluas jaringan perdagangan di Cina. Perancis kemudian membantu Inggris
untuk menuntut balas atas terbunuhnya Misionaris Perancis di daerah pedalaman Cina. Cina
kembali menderita kekalahan dalam perang ini dan dipaksa menandatangani
perjanjian Tientsien pada tahun 1858.
Perjanjian ini sangat menghina harga diri bangsa Cina
karena Inggris memaksa melegalkan perdagangan Candu. Pertempuran pun pecah
kembali hingga tahun 1860. Inggris yang bersekutu dengan Perancis berhasil
merebut Peking dan sekaligus merampok kekayaan istana. Cina kembali dipaksa
menandatangani Konvensi Peking, yang menegaskan bahwa Cina siap menerima
ketentuan dalam Perjanjian Tientsien yang melegalkan perdagangan Narkoba.
Negeri Cina pun takluk di tangan terorisme narkoba yang tersenyum gembira.
B. Terorisme Peradaban
Malik bin
Nabi, seorang intelektual asal Al Jazair menulis dalam bukunya yang berjudul
Syuruut Al-Nahdhah, bahwa bangun dan runtuhnya sebuah peradaban tergantung
siapa yang menjadi “panglimanya”. Dia mengatakan, bahwa sebuah peradaban akan
terus menanjak naik tatkala yang menjadi “panglimanya” adalah ruh. Dengan ruh sebuah peradaban akan menjadi
peradaban yang bersih dan tak terkotori. Pada masa inilah peradaban akan
dianggap mencapai puncak sebenarnya.
Pada
tahapan kedua, peradaban akan mengalami pelebaran dan pemekaran bukan
pengembangan, tatkala yang menjadi pemain dalam peradaban itu adalah akal.
Peradaban yang dikendalikan akal akan mengalami tarik menarik yang demikian
kencang antara ruh dan hawa nafsu. Terjadinya tarik menarik ini akan
mengakibatkan peradaban terus merentang dan bukan mengalami kenaikan nilai.
Pada fase selanjutnya, sebuah
peradaban akan mengalami kehancuran dan kebangkrutan tatkala yang menjadi
“panglimanya” adalah hawa nafsu. Pada titik inilah peradaban akan dengan deras
meluncur ke titik yang paling bawah
Ungkapan Malik Bin Nabi tersebut
memberikan suatu pelajaran kepada kita, bahwa peradaban manusia akan selalu
mengalami pasang surut. Tatkala ruh spiritualisme dan moralitas menjadi
panglima maka suatu peradaban akan mampu menggapai puncak peradaban. Namun
tatkala akal dan hawa nafsu telah mengalahkan moralitas, maka peradaban
tersebut akan jatuh meluncur ke titik nol.
Peradaban Cina yang dikenal sebagai
peradaban tertua dalam sejarah dunia takluk oleh terorisme narkoba. Hal ini
terjadi karena peradaban ini gagal merespon tantangan dan ancaman yang sedang
berkembang. Kaisar Cina tentu tak pernah membayangkan bahwa candu akan menjadi
biang keladi kehancuran peradaban Cina dari bangsa yang berdaulat menjadi
bangsa yang terjajah.
Hal ini sesuai dengan yang dikatakan
Arnold J Toynbee dalam buku A Study of History yang menyebutkan, bahwa
kebangkrutan sebuah peradaban adalah diakibatkan oleh ketidakmampuan pelaku
peradaban itu untuk merespon tantangan yang sedang berkembang.
Ketika sebuah bangsa tidak mampu
lagi memberikan jawaban terhadap tantangan-tantangan yang berkembang dan
tenggelam dalam kejumudan, maka bisa dipastikan peradaban itu akan mengalami
pembusukan. Ketidakmampuan memberi respon terhadap tantangan ini
mengindikasikan adanya impotensi dalam peradaban tersebut.
Sejarah akan terus berulang. Narkoba yang pada awal abad
ke -19 telah berhasil menghancurkan peradaban Cina, kini di era milenium tiga
narkoba telah bereinkarnasi menjadi terorisme yang berpotensi besar
menghancurkan peradaban manusia.
Narkoba
yang bersinergi dengan teknologi canggih telah memodifikasi dirinya menjadi
ancaman serius bagi semua peradaban bangsa. Pada tahun 2005, PBB menyebutkan
bahwa data
pecandu narkotika di seluruh dunia mencapai 200 juta orang.
Di tanah
air, survey BNN tahun 2006 menunjukkan prevalensi penyalahgunaan narkoba semasa
hidup sebesar 8,3%. Semakin tinggi jenjang pendidikan maka angka prevalensinya
semakin tinggi. Prevalensi narkoba di SLTP sebesar 6%, meningkat menjadi 9% di
SLTA, dan 12% di perguruan tinggi. Mereka yang berada sekolah swasta di jenjang
SLTA (10%) dan perguruan tinggi (12%) lebih tinggi prevalensinya dibandingkan
sekolah negeri dan agama.
Hasil
survei ini juga menunjukkan adanya kecenderungan kenaikan angka penyalahgunaan
narkoba pernah pakai dari sebesar 5,8% di tahun 2003 menjadi 8,3% di tahun
2006. Ini mengindikasikan bahwa peredaran narkoba menjadi semakin luas,
terlihat di seluruh propinsi telah ditemukan angka penyalahgunaan narkoba dan
hampir tidak ada banyak perbedaan persentase antara angka penyalahgunaan di
kota maupun kabupaten.
Lebih dari separuh penyalahguna narkoba
berada pada kelompok umur 15-19 tahun (58%), terutama pada mereka yang duduk di
bangku SLTA (94%). Ini dapat dimaklumi karena usia sekolah di SLTA berada pada
kisaran umur ini. Ada perbedaan kelompok umur antara penyalahguna di kota
dengan kabupaten. Pada kelompok umur yang kurang dari 15 tahun penyalahguna
lebih banyak berada di kabupaten, sedangkan pada kelompok umur diatas 20 tahun
lebih banyak ada di kota.
Data statistik di atas semakin meneguhkan eksistensi
narkoba sebagai terorisme peradaban nomor satu di dunia. Mengapa ? Karena
penyalahgunaan narkoba akan memicu krisis di berbagai bidang kehidupan. Narkoba
menghasilkan efek domino yang luar biasa.
Pertama,
mendegradasikan moral masyarakat. Penelitian BNN tahun 2006 menyebutkan bahwa
pencurian, penipuan, perampasan, dan penodongan merupakan tindak kriminalitas
yang banyak dilakukan oleh penyalahguna narkoba. Persentase yang pernah mencuri
barang milik keluarga sekitar 16% pada kelompok teratur-pakai dan 24% pada
pecandu; yang pernah mencuri barang milik orang lain adalah 5% pada kelompok
teratur pakai dan 13% pada pecandu. Sedangkan yang pernah menipu, merampas,
atau menodong sekitar 4% pada kelompok teratur-pakai dan 9% pada pecandu.
Kedua, menghancurkan sistem ekonomi. Pecandu narkoba
akan cenderung menghabiskan penghasilannya untuk membeli narkoba. Kerugian ekonomi dan sosial penyalahgunaan narkoba di
Indonesia tahun 2004 diperkirakan Rp.23,6 triliun, dan jumlah penyalahguna
narkoba diperkirakan 2,9 juta sampai 3,6 juta orang atau setara 1,5% penduduk
Indonesia (BNN & Puslitkes UI, 2005).
Ketiga, menimbulkan gangguan kesehatan jasmani maupun rohani. Menurut
Dadang Hawari (Republika, Juli 2003), orang yang telah tergantung narkoba, maka
hidupnya mengalami gangguan jiwa sehingga tidak lagi mampu berfungsi secara
wajar di masyarakat. Hasil penelitian Dadang Hawari menunjukkan bahwa 53,5 %
pemakai heroin mengalami kelainan paru, 55,1 % mengalami kelainan fungsi hati,
56,6 % mengalami infeksi hepatitis C, serta 33,3 % mengalami infeksi virus
HIV/AIDS.
Selain itu,
data Departemen Kesehatan RI, menyebutkan selama kurun waktu 1987 s/d 2006
kasus AIDS yang disebabkan penggunaan jarum suntik narkoba menembus angka 4.122
dari (8.194 kasus) jauh di atas faktor
pemicu AIDS lainnya. Seperti transfusi darah, homoseksual, dan transmisi
perinatal.
C. Pendidikan Karakter
Menurut Jalal Amin (2006), globalisasi adalah penciutan cepat dalam
jarak antara masyarakat manusia baik yang berkaitan dengan perpindahan
komoditi, orang, modal, informasi, gagasan atau nilai. Hal ini berarti globalisasi
merupakan proses eliminasi batas-batas territorial antara satu bangsa dengan
bangsa lain. Proses eliminasi ini terus berlanjut hingga menginjak ranah
kebudayaan suatu bangsa.
Ironisnya, generasi muda kita
menerima globalisasi tanpa filter. Pengagungan yang over dosis terhadap
globalisasi telah menyebabkan masyarakat kita kehilangan akar budaya dan
sejarah. Budaya asing dengan segala bentuknya telah memarginalisasi budaya
nasional maupun budaya lokal. Dominasi produk asing tiga F, food (makanan), fashion (pakaian),
dan fun (hiburan) dalam kehidupan sehari-hari begitu kentara.
Makanan cepat saji yang di negeri
asalnya sendiri sudah dianggap makanan “sampah” karena kandungan kolesterolnya
yang sangat tinggi, di negeri ini dianggap makanan kelas raja dan elit. Dalam
hal cara berpakaian pun budaya kita sudah lama di tinggalkan berganti dengan
pakaian serba ketat dan hemat untuk para remaja. Pengaruh terbesar budaya asing
tampak dalam dunia hiburan. Segala hal yang berbau asing laris manis di jual kepada
publik.
Fenomena di atas menunjukkan bahwa
remaja kita sangat rentan terhadap pengaruh
budaya asing. Segala sesuatu yang asing dianggap ”baik dan modern”. Hal
ini mengakibatkan generasi muda kita suka mencoba-coba sesuatu yang dianggap
mewakili kehidupan modern.
Dalam persepsi generasi muda,
narkoba merupakan sesuatu yang cukup menantang untuk dicoba. Semula hanya
sekedar mencoba, setelah merasakan efek nikmat merekapun ketagihan. Setelah
ketagihan mereka akan melakukan apa saja untuk mendapatkan barang terlarang
itu. Pertahanan generasi masa depan ini pun akhirnya bobol.
Survey BNN tahun 2005
menemukan bahwa rata-rata
umur pertama kali memakai narkoba sekitar 18-19 tahun dengan rentang 10 sampai
32 tahun. Alasan memakai narkoba pertama kali yang banyak dikemukakan
penyalah-guna di rumah tangga adalah bersenang-senang (56%) dan karena paksaan
(22%). Sedangkan pada penyalah guna narkoba di rumah kos, alasan memakai
narkoba pertama kali yang banyak dikemukakan adalah ingin mencoba (62%) dan
karena ajakan/bujukan ternan (18%).
Ironisnya, sebagian besar responden di rumah tangga dan di rumah kos pemah dengar
narkoba, tetapi yang tahu apa itu narkoba dan bahaya narkoba hanya 65% di rumah
tangga dan 85% di rumah.
Artinya, mereka menjadi pemakai narkoba bukan disebabkan faktor ketidaktahuan
mereka melainkan justru karena pengetahuan yang ada pada mereka. Mengetahui
bahaya narkoba tetapi tetap ingin mencoba narkoba membuktikan bahwa ada yang
salah dengan sistem pendidikan kita.
Pendidikan
nasional gagal membangun karakter para remaja kita. Pendidikan menghasilkan
lulusan yang sekedar menghafal pengetahuan bukan memahami, menghayati, dan
meyakini sebuah pengetahuan. Akibatnya, generasi muda kita mudah terbius oleh
pesona budaya pop
Menurut Yasraf Amir
Piliang (2003), dalam konteks
budaya pop dan korelasinya dengan fenomena gaya hidup, serta bagaimana
seluruhnya itu dibangun oleh industrialisasi dan kapitalisme mutakhir yang
menjadikan media sebagai agen ”propaganda”-nya inilah, budaya pop seringkali
dicurigai sebagai sebuah kekuatan hegemonik yang fasis, ketika identitas dan
imajinasi seseorang ditentukan dari atas. Jelas semua ini ada pengaruhnya pada
cara pandang terhadap realitas.
Budaya pop membawa kita pada realitas yang serba
permukaan. Realitas yang hanya sekadar kulit luarnya, realitas palsu, sebuah
simulakra. Budaya pop adalah anak kandung kapitalisme sebab ia tak bisa
dilepaskan dari industrialisasi. Diakui atau tidak, budaya pop turut andil
dalam penyebaran penyalahgunaan narkoba. Tanpa disadari, budaya pop telah
mengambil peran sebagai katalisator
penyalahgunaan narkoba dikalangan remaja.
Film ataupun sinetron picisan dilayar kaca maupun
lebar sering mempromosikan gaya hidup populer anak muda seperti dugem, pacaran
over dosis, mabuk-mabukan bahkan sampai teknik menginjeksi narkoba. Ironisnya,
sinetron yang dimaksudkan agar anak muda kita menjauhi narkoba tanpa disadari
malah berubah menjadi mempromosikan penggunaan narkoba.
Untuk memerangi narkoba,
pendidikan nasional harus menyiapkan konsep pendidikan yang berkarakter kuat. Selama
ini metodologi belajar mengajar hanya difokuskan pada pendekatan otak
kiri/kognitif, yaitu hanya mewajibkan peserta didik untuk mengetahui dan
menghafal konsep dan kebenaran tanpa menyentuh perasaan, emosi, dan nuraninya. Selain itu tidak dilakukan praktek perilaku
dan penerapan nilai kebaikan dan akhlak mulia dalam kehidupan di sekolah. Ini merupakan kesalahan metodologis yang mendasar dalam
pengajaran moral bagi manusia.
Karena itu tidaklah aneh jika
dijumpai banyak sekali inkonsistensi antara apa yang diajarkan di sekolah dan
apa yang diterapkan anak di luar sekolah.
Dengan demikian peran orangtua dalam pendidikan agama untuk membentuk
karakter anak (baca:akhlak) menjadi amat mutlak, karena melalui orangtua
pulalah anak memperoleh kesinambungan nilai-nilai kebaikan yang telah ia
ketahui di sekolah.
Tanpa keterlibatan orangtua dan keluarga maka
sebaik apapun nilai-nilai yang diajarkan di sekolah akan menjadi sia-sia, sebab
pendidikan karakter (atau akhlak dalam Islam) harus mengandung unsur afeksi,
perasaan, sentuhan nurani, dan prakteknya sekaligus dalam bentuk amalan
kehidupan sehari-hari.
Pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi
dari pendidikan moral, karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan
mana yang salah, lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal yang baik
sehingga peserta didik menjadi faham (aspek kognitif) tentang mana yang baik
dan salah, mampu merasakan (aspek afektif) nilai yang baik dan mau melakukannya (aspek psikomotorik).
Menurut Wynne (1991) kata
karakter berasal dari Bahasa Yunani yang berarti “to mark” (menandai) dan
memfokuskan pada bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan
atau tingkah laku. Oleh sebab itu
seseorang yang berperilaku tidak jujur, kejam atau rakus dikatakan sebagai
orang yang berkarakter jelek.
Sementara itu, orang yang
berperilaku jujur, suka menolong dikatakan sebagai orang yang berkarakter
mulia. Jadi istilah karakter erat
kaitannya dengan personality
(kepribadian) seseorang, dimana seseorang bisa disebut orang yang berkarakter (a person of character) jika tingkah
lakunya sesuai dengan kaidah moral.
Dalam pendidikan karakter
Lickona (1992) menekankan pentingya tiga
komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang
moral, moral feeling atau perasaan
tentang moral dan moral action atau perbuatan bermoral. Hal ini diperlukan agar peserta didik mampu
memahami, merasakan dan mengerjakan sekaligus nilai-nilai kebajikan.
Menurut Ratna Megawangi, ada
sembilan pilar model pendidikan holistik berbasis karakter. Nilai luhur itu
meliputi cinta Tuhan dan segenap ciptaanNya, kemandirian tanggung jawab dan
kedisiplinan, kejujuran, amanah dan bijaksana, hormat dan santun, dermawan suka
tolong-menolong dan gotong-royong, percaya diri, kreatif dan pekerja keras,
kepemimpinan dan keadilan, baik dan rendah hati serta toleransi, kedamaian, dan
kesatuan
Foerster
menjelaskan ada empat ciri dasar pendidikan karakter yang cukup penting untuk
menyuntikkan semangat anti narkoba di hati peserta didik, pertama, keteraturan
interior yang mengukur setiap tindakan berdasar hierarki nilai menjadi pedoman
normatif setiap tindakan. Peserta didik yang memahami hierarki nilai dengan
baik tidak akan mudah tergoda oleh rayuan narkoba karena memiliki aneka standar
nilai untuk mencegahnya. Norma agama, masyarakat, keluarga, maupun negara merupakan “imunisasi jiwa” terbaik untuk
menolak narkoba.
Kedua, koherensi yang memberi keberanian membuat
seseorang teguh pada prinsip, tidak terombang-ambing pada situasi baru atau
takut resiko. Keberanian memegang prinsip kebenaran merupakan kompetensi yang
wajib dimiliki oleh peserta didik. Jika sekolah mampu menanamkan dengan baik
sifat ini, maka di luar sekolah pun peserta didik akan memiliki keberanian
untuk berkata, “Tidak” pada ajakan teman bergaul untuk menggunakan narkoba.
Ketiga, otonomi. Seseorang menginternalisasikan aturan
dari luar sampai menjadi nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian
atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh desakan pihak lain. Kedaulatan jiwa
peserta didik perlu dibangun oleh pendidik agar mereka tidak mudah terpengaruh
oleh bujuk-rayu setan-setan narkoba yang terus bergentayangan.
Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan
daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik, sedangkan
kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.
Keteguhan dan komitmen pada nilai-nilai moral merupakan tujuan utama dari pendidikan
karakter. Dengan demikian jurang pemisah antara cita-cita moral dan
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari dapat terus dipersempit. Kematangan
keempat karakter ini memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju
personalitas.
D. Minat Baca
Pendidikan karakter hanya dapat dilaksanakan jika sekolah-sekolah di tanah
air dapat merangsang tumbuhnya minat baca pada peserta didik. Sebuah penelitian
membuktikan bahwa minat baca seseorang akan mempengaruhi karakternya.
Majalah
Child Development (Januari/Februari
2006) sebagaimana dikutip H. Witdarmono (Kompas, 8 September 2006) menerbitkan
hasil penelitian tentang hubungan antara kemampuan membaca dan sikap agresif
siswa sekolah dasar. Penelitian Miles dan Stipek menemukan adanya
keterkaitan antara tingkat kemampuan membaca dan tingkat agresivitas. Dalam
penelitian ini, sikap agresif dibatasi dalam empat golongan, "suka
berkelahi", "tidak sabaran", "suka mengganggu", dan
"kebiasaan menekan anak lain (bullying)".
Anak-anak
kelas 1 SD, yang kemampuan membacanya relatif rendah, saat di kelas 3,
cenderung memiliki tingkat agresivitas tinggi. Juga, anak-anak kelas 3, yang
memiliki kemampuan membaca rendah, cenderung memiliki sikap agresif tinggi saat
di kelas 5. Mungkin, bersamaan dengan tingkat pergaulan mereka, anak-anak yang
kemampuan membacanya rendah itu frustrasinya kian menumpuk. Keadaan ini yang membuat mereka menjadi agresif. Sebaliknya, ada
keterkaitan antara sikap sosial dan kemampuan membaca. Yang dimaksud sikap
sosial adalah "suka menolong", "mengerti perasaan orang
lain", "punya empati", "punya perhatian kepada yang
susah", dan "menolong/menghibur teman yang kecewa". Anak-anak
yang memiliki sikap sosial yang baik saat di TK dan kelas 1 SD biasanya lebih
mampu mengembangkan kemampuan membacanya di kelas 3 dan kelas 5 SD.
Penelitian di atas membuktikan bahwa peserta didik yang memiliki minat
baca yang tinggi akan cenderung memiliki karakter yang kuat. Hal ini karena membaca merupakan sebuah proses yang
kompleks. Tidak hanya proses membaca itu yang kompleks, tetapi setiap aspek
yang ada selama proses membaca juga bekerja dengan sangat kompleks.
Ada delapan
aspek yang bekerja saat kita membaca, yaitu aspek sensori, persepsi, sekuensial
(tata urutan kerja), pengalaman, berpikir, belajar, asosiasi, dan afeksi. Boleh
dikata, ketika proses membaca berlangsung, seluruh aspek kejiwaan bekerja
aktif. Generasi
muda yang berkarakter kuat inilah yang kelak akan menjelma menjadi generasi
anti narkoba. Generasi yang memiliki imunitas tinggi terhadap narkoba.
Ironisnya, sebagian besar generasi muda kita adalah
generasi yang miskin minat baca. Data yang dilansir BPS pada 2003 menggambarkan, penduduk
Indonesia usia di atas 15 tahun yang membaca koran hanya 55,11 %. Yang membaca
majalah atau tabloid 29,22 %, buku cerita 44,28 %, dan buku pengetahuan lainnya
21,07 %. Dari tahun 1993, kecenderungan mendapatkan informasi lewat membaca
hanya naik sekitar 0,2 %, jauh jika dikomparasikan dengan menonton televisi
yang kenaikannya mencapai 21,1 %.
Data
BPS tahun 2006 menunjukkan, penduduk Indonesia yang menjadikan membaca sebagai
sumber informasi baru sekitar 23,5 %. Sedangkan yang menonton televisi 85,9 %,
dan mendengarkan radio 40,3 %. Laporan Bank Dunia No. 16369-IND (Education in
Indonesian from Crisis to Recovery), mengutip hasil Vincent Greannary tahun 1998, menyebutkan bahwa tingkat membaca
usia kelas VI sekolah dasar di Indonesia hanya mampu meraih skor 51,7 di bawah
Filipina (52,6); Thailand (65,1) dan Singapura (74,0).
Fakta
di atas sungguh membuat hati kita khawatir. Ternyata, sistem pendidikan
nasional telah gagal melahirkan generasi yang membaca. Pendidikan kita hanya
sekedar menghasilkan generasi yang membaca agar disebut ”sudah belajar”.
Generasi yang membaca hanya untuk menggapai kelulusan belaka. Bukan generasi
yang terus membaca sepanjang hidupnya. Generasi semacam ini sangat berpotensi
menjadi generasi yang hilang dalam pelukan tsunami narkoba.
Menurut
H.A.R Tilaar (1999), membaca pada hakekatnya merupakan proses untuk memiliki
ilmu pengetahuan. Proses memiliki ilmu pengetahuan merupakan suatu proses yang
lebih dikenal dengan belajar. Belajar yang merupakan inti dari pendidikan
sebagian besar didominasi oleh kegiatan
membaca. Ilmu pengetahuan yang berkembang sangat pesat itu tidak mungkin lagi dapat dikuasai melalui
proses mendengar atau proses transisi dari sumber ilmu pengetahuan (guru)
tetapi melalui berbagai sumber ilmu pengetahuan yang hanya dapat diketahui
melalui proses membaca.
Salah satu
metode pembelajaran yang sangat mendukung bagi peningkatan minat baca peserta
didik adalah metode pembelajaran konstruktivisme. Menurut E. Mulyasa (2002) ,
fokus pendekatan konstruktivisme bukan pada rasionalitas, tapi pada pemahaman.
Inilah alasan utama mengapa
konstruktivisme dengan cepat dapat menggantikan teori perkembangan kognitif
sebagai dasar dalam penelitian dan praktek pendidikan. Daya tarik dari model
konstruktivisme ini adalah pada kesederhanaannya
Strategi
pokok dari model belajar mengajar konstruktivisme adalah meaningful learning,
yang mengajak peserta didik berpikir dan memahami materi pelajaran, bukan
sekedar mendengar, menerima, dan mengingat-ingat. Setiap unsur materi pelajaran
harus diolah dan diinterpretasikan sedemikian rupa sehingga masuk akal. Sesuatu
yang tidak masuk akal tidak akan menempel lama dalam pikiran.
Pelajaran
yang berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik seperti : pelajaran
agama, moral maupun budi pekerti sudah sepantasnya mengadopsi model
pembelajaran ini. Sehingga peserta didik dapat memahami, menghayati, dan
mengamalkan kaidah moral dan agama dengan baik. Selama ini, pelajaran agama di
sekolah baru mencapai taraf ”penghapalan agama”, pelajaran moral baru sampai
pada tahap ”penghapalan moral” dan pelajaran budi pekerti pun sesungguhnya baru
mencapai tahap ”penghapalan budi pekerti”.
Strategi
ini menghendaki baik siswa maupun guru memiliki kedudukan sebagai subyek
belajar. Sebagai subyek belajar keduanya dituntut aktif untuk mencari
data-data, informasi, dan interpretasi dari materi pelajaran. Siswa dituntut untuk
bersikap kritisisme terhadap materi pelajaran
bukan sekedar meniru, copy-paste, dan menghafal apa yang diberikan oleh
guru. Dengan strategi ini siswa dan guru didorong untuk memiliki minat baca
yang cukup tinggi dengan memanfaatkan perpustakaan sekolah.
Hasil yang
diperoleh dengan strategi meaningful learning ini akan jauh lebih baik dari
pembelajaran tradisional yang oleh Paulo Freire disebut cara belajar sistem
bank. Cara belajar sistem bank ini tidak akan mendorong siswa untuk gemar
membaca. Selanjutnya filsuf Paulo Freire menganjurkan agar supaya proses
belajar mengajar hendaknya membangkitkan nalar dan kreativitas siswa dengan
cara memotivasi siswa belajar mencari data-data, menganalisis data-data
tersebut dalam arti yang sebenarnya.
Cara
belajar sistem bank hanya akan menghasilkan pemahaman materi pelajaran yang
bersifat instan dan tidak menyeluruh. Ada kalanya ada beberapa unsur materi
pelajaran yang susah dipahami oleh siswa, tetapi siswa terpaksa menerima begitu
saja dengan menghafal. Model penerimaan materi pelajaran yang demikian hanya
akan menghasilkan pemahaman yang miskin pengamalan dalam kehidupan sehari-hari.
Akibatnya proses belajar mengajar berlangsung dalam suasana statis, monoton dan
membosankan.
Strategi belajar meaningful learning sangat memerlukan
dukungan perpustakaan sebagai sumber belajar. Perpustakaan dapat dimanfaatkan
oleh siswa dan guru sebagai tempat pembelajaran di luar kelas. Kebutuhan
siswa untuk melakukan active playing
(belajar aktif), interpretation (interpretasi), make sense (masuk akal),
negotiation (pertukaran pikiran), cooperative (kerjasama), dan inquiry
(menyelediki) dapat dilakukan di perpustakaan sekolah.
Di perpustakaan siswa juga dapat melaksanakan konsep
belajar mengetahui (learning to know), belajar melakukan (learning to do),
belajar hidup dalam kebersamaan (learning to live together), belajar menjadi
diri sendiri (learning to be); dan belajar seumur hidup (life long learning).
E. Kesimpulan
Perang terhadap narkoba tanpa dilakukan dengan
memperkuat karakter bangsa adalah mubadzir. Mengapa ? Karena pertahanan terkuat
terhadap godaan narkoba ada pada diri individu itu sendiri. Narkoba tidak akan
berdaya jika berhadapan dengan generasi bangsa yang berkarakter kuat. Kekuatan
karakter ini akan terus tumbuh dan berkembang sesuai dengan meningkatnya minat
baca.
BNN dapat memanfaatkan perpustakaan sekolah dan
perpustakaan umum untuk menyuntikkan semangat anti narkoba. Buku, VCD, majalah
dan brosur tentang kampanye anti narkoba dapat dilayankan di perpustakaan.
Bahkan, jika memungkinkan BNN dapat mengajak Perpustakaan Nasional RI untuk
membuat sebuah jaringan bersama, yaitu
jaringan bersama anti narkoba. Jaringan ini akan melibatkan seluruh
perpustakaan yang ada di tanah air.
Jadi, sinergi antara pendidikan karakter dan minat baca
akan melahirkan generasi masa depan yang mengetahui, memahami, menghayati, dan
meyakini bahwa narkoba adalah racun yang harus dijauhi, dimusuhi, diingkari,
dan dibenci. Generasi inilah yang akan menghasilkan pejabat negara, penegak hukum,
pendidik, dan aparatur negara yang
bersikap keras terhadap narkoba. Sebuah bangsa yang mampu mentransformasikan
pengetahuan dan moralitas menjadi aksi nyata, ”Perang Terhadap Narkoba, dan
Menang!”.
Referensi
Adhim, Fauzil. 2007. Membuat Anak
Gila Membaca. Bandung : Mizan.
Mulyasa,E. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi : Konsep, Karakteristik, dan
Implementasi, Bandung : Remaja Rosda Karya.
Kumpulan Hasil Litbang BNN Tahun 2003 –
2006. Jakarta : BNN, 2006.
Martianto, Dwi Astuti. 2002. Pendidikan Karakter Paradigma Baru Dalam Pembentukan
Manusia Berkualitas. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Pikiran
Rakyat Online, 2003. Aku Bergaya, Karena Itu Aku Ada .
Tilaar, H.A.R.1999. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam
Perspektif Abad 21, Magelang : Indonesia Tera.
Witdarmono, H. Membaca dan Agresivitas. Kompas, 8 September 2006
0 Response to "Gempur Narkoba Dengan Minat Baca !"
Posting Komentar